JAKARTA, Cobisnis.com – Ketimpangan ekonomi global kembali menjadi sorotan setelah berbagai laporan menunjukkan bahwa negara-negara penghasil bahan mentah masih belum mampu menikmati nilai tambah dari komoditas yang mereka hasilkan. Dalam rantai ekonomi global, negara maju tetap mendominasi sektor pengolahan, teknologi, dan distribusi yang menciptakan keuntungan tertinggi.
Struktur rantai nilai global atau Global Value Chain menempatkan negara berkembang di posisi awal sebagai penyedia bahan mentah seperti nikel, kakao, minyak sawit, hingga tembaga. Sementara itu, negara maju menguasai tahap hilir melalui proses pengolahan, branding, dan pemasaran produk jadi yang bernilai tinggi. Akibatnya, keuntungan terbesar justru tidak kembali ke negara asal komoditas tersebut.
Perbedaan teknologi menjadi salah satu penyebab utama kesenjangan nilai ekonomi ini. Negara maju memiliki kemampuan riset dan industri yang mumpuni untuk mengubah bahan mentah bernilai rendah menjadi produk industri bernilai tinggi. Contohnya, nikel mentah dari Asia Tenggara menjadi bahan baku utama baterai kendaraan listrik di Jepang dan Korea Selatan dengan nilai jual berkali lipat.
Keterbatasan infrastruktur dan biaya logistik juga menahan negara penghasil bahan mentah di posisi bawah rantai ekonomi. Minimnya akses energi murah, sistem transportasi efisien, dan pendanaan industri membuat pengolahan di dalam negeri kurang kompetitif. Akibatnya, ekspor bahan mentah tetap menjadi pilihan yang paling realistis secara ekonomi jangka pendek.
Selain itu, sistem perdagangan global masih bias terhadap negara berkembang. Produk mentah umumnya bebas tarif masuk, sementara produk olahan dikenakan tarif tinggi di pasar negara maju. Pola ini disebut tariff escalation, yang secara struktural membuat negara produsen sulit mengembangkan industri pengolahan bernilai tambah di dalam negeri.
Dominasi perusahaan multinasional (MNC) juga memperkuat ketimpangan tersebut. Banyak perusahaan besar mengendalikan rantai pasok dari hulu hingga hilir, membeli bahan mentah langsung dari produsen di negara berkembang dan mengolahnya di luar negeri. Nilai ekonomi terbesar akhirnya terserap di luar negeri, sementara negara penghasil hanya mendapat royalti kecil dan upah rendah.
Keterbatasan alih teknologi memperburuk kondisi ini. Negara pengolah memiliki insentif untuk menjaga keunggulan teknologinya, sehingga negara produsen sulit melakukan lompatan industri. Fenomena ini dikenal sebagai low value trap, di mana negara penghasil terus terjebak dalam sektor primer tanpa mampu beralih ke sektor manufaktur bernilai tinggi.
Harga bahan mentah yang sangat fluktuatif turut menambah kerentanan ekonomi negara produsen. Ketika harga global jatuh, penerimaan ekspor langsung anjlok, memengaruhi stabilitas fiskal dan cadangan devisa. Sementara itu, negara pengolah tetap mendapat keuntungan dari diversifikasi produk jadi dengan nilai yang lebih stabil di pasar internasional.
Beberapa negara mulai melawan arus. Indonesia misalnya, telah menerapkan larangan ekspor nikel mentah untuk menarik investasi di sektor smelter dan baterai kendaraan listrik. Langkah ini menjadi contoh upaya hilirisasi ekonomi, di mana negara produsen berusaha merebut kembali sebagian nilai tambah yang selama ini dinikmati oleh negara pengolah.
Namun, transisi menuju industrialisasi bernilai tambah membutuhkan waktu dan modal besar. Tanpa transfer teknologi, dukungan riset, dan reformasi kebijakan perdagangan, negara penghasil bahan mentah akan terus berada di posisi lemah dalam rantai nilai global. Ketimpangan ekonomi ini menunjukkan bahwa sumber daya alam melimpah belum tentu menjamin kemakmuran jangka panjang.














