JAKARTA, Cobisnis.com – Program makan siang gratis dipandang sebagai salah satu langkah strategis untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam jangka panjang. Kebijakan ini diyakini mampu memperbaiki gizi anak-anak, menekan angka sakit, sekaligus meningkatkan kemampuan belajar di sekolah.
Dalam konteks pembangunan ekonomi, gizi yang baik di masa kecil berperan penting bagi daya saing tenaga kerja di masa depan. Generasi yang tumbuh sehat diyakini mampu berkontribusi lebih besar pada produktivitas nasional ketika memasuki usia kerja.
Selain memperkuat kualitas SDM, program ini juga diharapkan menciptakan pemerataan akses pendidikan dan gizi. Anak-anak dari keluarga menengah bawah akan memperoleh asupan yang setara dengan anak dari keluarga mampu, sehingga ketimpangan sosial dapat ditekan.
Efek positif lainnya adalah penggerak ekonomi lokal. Jika bahan pangan diperoleh dari petani dan pelaku UMKM di sekitar sekolah, maka program ini tidak hanya memberi manfaat sosial, tetapi juga membuka pasar baru bagi produk dalam negeri.
Keterlibatan UMKM dan petani lokal menjadi faktor kunci dalam memperluas multiplier effect. Dengan begitu, rantai pasok pangan bisa berjalan lebih stabil, tenaga kerja terserap, dan daya beli masyarakat meningkat.
Meski menjanjikan, program makan siang gratis memiliki tantangan besar. Anggaran yang dibutuhkan sangat tinggi dan berpotensi membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jika tidak dikelola dengan hati-hati.
Selain itu, efektivitas distribusi menjadi perhatian utama. Kualitas makanan, kelancaran logistik, hingga transparansi pelaksanaan perlu dijaga agar manfaat yang diharapkan benar-benar tercapai. Potensi kebocoran anggaran dan korupsi tidak boleh diabaikan.
Dari sisi waktu, manfaat ekonomi dari program ini baru akan terlihat dalam jangka panjang. Hasilnya baru dapat dirasakan ketika generasi penerima masuk ke dunia kerja, sehingga dampak sosial lebih dominan pada tahap awal.
Pemerintah dinilai perlu mengintegrasikan program makan siang gratis dengan kebijakan pendidikan dan kesehatan. Tanpa dukungan kebijakan komplementer, manfaat program bisa berkurang dan hanya sebatas janji politik jangka pendek.
Jika dikelola secara transparan, berkelanjutan, serta melibatkan pelaku lokal, program ini berpotensi memberi dampak positif nyata. Namun, tanpa perencanaan matang, risiko beban fiskal dan rendahnya efektivitas bisa lebih menonjol ketimbang manfaatnya.














