JAKARTA, Cobisnis.com – Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, bukan sekadar peninggalan sejarah, melainkan motor penting dalam ekosistem ekonomi budaya Indonesia. Sebagai monumen Buddha terbesar di dunia, Borobudur terbukti menjadi magnet wisatawan dan pusat perayaan spiritual yang memberi dampak signifikan pada pasar pariwisata nasional.
Candi yang dibangun pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi oleh Dinasti Syailendra ini disusun dari sekitar 2 juta balok batu andesit tanpa semen. Teknik konstruksi kuno yang canggih tersebut menjadikan Borobudur simbol kearifan lokal dan aset bernilai global. Fakta ini tidak hanya penting dalam sejarah arsitektur, tetapi juga menciptakan positioning Borobudur sebagai destinasi premium yang berkontribusi pada devisa negara.
Borobudur memiliki tinggi sekitar 35 meter dengan 10 tingkatan, lengkap dengan 2.600 panel relief dan 504 arca Buddha. Relief tersebut bercerita tentang ajaran moral, kisah Ramayana, hingga kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa kuno. Nilai tambah ini mendorong Borobudur masuk dalam peta pariwisata edukatif, sehingga mampu menggerakkan ekonomi kreatif dari sektor pemandu wisata, penerbitan buku sejarah, hingga produk kerajinan.
Filosofi Borobudur menggambarkan perjalanan spiritual manusia melalui tiga tahap: Kamadhatu (dunia nafsu), Rupadhatu (dunia bentuk), hingga Arupadhatu (nirwana). Representasi ini memperkaya daya tarik Borobudur, tidak hanya bagi wisatawan lokal, tetapi juga wisatawan mancanegara yang mencari pengalaman spiritual. Hal ini sejalan dengan tren global wellness tourism yang nilai pasarnya tumbuh pesat setiap tahun.
Di bagian puncak, Borobudur memiliki stupa induk besar yang dikelilingi 72 stupa berlubang dengan arca Buddha di dalamnya. Simbol tersebut menjadikan candi ini sebagai ikon spiritual sekaligus arsitektural. Tak heran, Borobudur sering dijadikan materi penelitian internasional, yang secara tidak langsung meningkatkan citra Indonesia di kancah global sebagai pusat warisan dunia.
Borobudur sempat terkubur abu vulkanik akibat letusan Gunung Merapi sebelum ditemukan kembali pada abad ke-19. Pemulihan besar-besaran dilakukan hingga akhirnya UNESCO mengakui Borobudur sebagai Situs Warisan Dunia pada 1991. Status ini meningkatkan kredibilitas Indonesia dalam industri heritage tourism, sektor yang nilainya diperkirakan mencapai miliaran dolar secara global.
Selain sebagai destinasi wisata, Borobudur juga menjadi pusat perayaan Hari Waisak internasional. Ribuan umat Buddha dari berbagai negara hadir setiap tahun, menciptakan multiplier effect terhadap sektor transportasi, akomodasi, dan kuliner di sekitar Magelang hingga Yogyakarta. Hal ini menjadikan Borobudur sebagai episentrum kegiatan ekonomi musiman dengan dampak jangka panjang bagi UMKM lokal.
Borobudur dikenal memiliki relief terpanjang di dunia dengan total panjang sekitar 5 km. Fakta ini menambah daya saing Borobudur dibanding situs budaya lain, karena wisatawan memiliki pengalaman eksplorasi yang lebih mendalam. Panjang relief tersebut juga menjadi daya tarik bagi sektor penelitian, dokumentasi, hingga produksi konten digital, yang kini bernilai ekonomi tinggi dalam ekosistem pariwisata modern.
Dengan segala potensinya, Borobudur bukan hanya simbol kejayaan masa lalu, melainkan aset strategis untuk masa depan. Kombinasi antara warisan sejarah, kekayaan seni, dan dampak ekonomi menjadikan Borobudur sebagai salah satu pilar branding pariwisata Indonesia. Pemerintah maupun pelaku usaha didorong untuk terus mengoptimalkan potensi Borobudur, baik dari sisi konservasi maupun pengembangan produk turunan wisata.
Keberadaan Borobudur membuktikan bahwa peninggalan sejarah tidak hanya berhenti sebagai monumen, melainkan dapat berkembang menjadi instrumen ekonomi yang berkelanjutan. Dari penggerak UMKM lokal, penyerap tenaga kerja, hingga pemasok devisa negara, Borobudur adalah contoh nyata bahwa warisan budaya bisa menjadi modal ekonomi yang relevan dengan pasar modern.














