JAKARTA, COBISNIS.COM – Para pengamat ekonomi memperingatkan bahwa melonjaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) menandakan ketidakstabilan di sektor manufaktur dan ekonomi secara keseluruhan.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan hingga 26 September 2024, tercatat 52.933 pekerja menjadi korban PHK. Jumlah ini meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker, Indah Anggoro Putri, menjelaskan bahwa sektor pengolahan mencatat angka PHK tertinggi dengan 24.013 kasus, diikuti oleh sektor jasa sebanyak 12.853 kasus, dan sektor pertanian, kehutanan, serta perikanan sebesar 3.997 kasus.
Provinsi Jawa Tengah menjadi wilayah dengan kasus PHK terbanyak, disusul Banten dan DKI Jakarta.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut lonjakan PHK ini sebagai tanda bahwa deindustrialisasi sedang berlangsung.
Menurutnya, sektor manufaktur kini semakin tertekan oleh produk impor yang lebih kompetitif, sementara permintaan dalam negeri justru melemah.
Harga barang dan jasa yang terus menurun serta menurunnya tabungan masyarakat menunjukkan lemahnya daya beli.
Samirin juga menyoroti keputusasaan yang dialami oleh banyak pengusaha manufaktur.
Mereka mulai menyerah dan beralih menjadi pedagang produk impor, terutama dari China, yang lebih menguntungkan dan rendah risiko. Ia menyebut situasi ini sebagai “lampu kuning” bagi sektor manufaktur Indonesia.
Sementara itu, Nailul Huda, Direktur Celios, menegaskan bahwa proporsi sektor manufaktur terhadap PDB telah menurun dalam satu dekade terakhir.
Pada masa lalu, manufaktur menyumbang lebih dari 20% PDB, namun kini terus tertekan akibat impor dan melambatnya Purchasing Managers’ Index (PMI). Menurutnya, situasi ini diperburuk oleh masuknya produk impor.
Bhima Yudhistira, Direktur Celios, menambahkan bahwa PHK massal akan berdampak pada konsumsi rumah tangga kelas menengah, yang merupakan penyumbang besar dalam perekonomian.
Jika tren ini berlanjut, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% akan sulit dicapai.
Huda menyatakan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia juga menurun, terbukti dari berkurangnya penyerapan tenaga kerja.
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi 1% mampu menyerap lebih dari 400 ribu tenaga kerja, namun kini hanya sekitar 100 ribu pekerja. Ini menunjukkan bahwa sektor formal terus tergerus, dengan lebih dari 59% pekerja beralih ke sektor informal.
Ia juga menilai bahwa Undang-Undang Cipta Kerja belum efektif dalam menarik investasi yang dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Selain itu, sektor manufaktur terus terpuruk, dengan kontribusinya terhadap PDB turun menjadi 18% dari 22% pada awal 2010.
Wijayanto menyarankan agar pemerintah segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan industri manufaktur. Ia menekankan pentingnya mendengarkan keluhan para produsen serta membandingkan kebijakan industri Indonesia dengan negara kompetitor seperti Vietnam, Malaysia, dan India.
Pemerintah juga perlu memperbaiki iklim bisnis dengan mengurangi biaya tinggi, menyederhanakan perizinan, dan memberikan insentif pajak bagi produk manufaktur unggulan. Wijayanto juga menekankan pentingnya mempermudah impor bahan baku serta menurunkan biaya logistik untuk mendorong daya saing industri manufaktur.