JAKARTA,Cobisnis.com – PT Vale Indonesia (INCO) mencatatkan laba bersih sebesar 274,3 juta dolar AS atau meningkat 36,89 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 200,40 juta dolar AS.
Presiden Direktur Vale, Febriany Eddy mengatakan, pihaknya juga berhasil mencatatkan peningkatan produksi sebesar 18 persen dan EBITDA sebesar 499,6 juta dolar AS.
“Meski menghadapi situasi pasar yang kurang menguntungkan, kedisiplinan dalam operasional dan keuangan yang kami lakukan membuahkan hasil keuangan yang baik,” ujar Febriany dalam keteangan kepada media yang dikutip Selasa, 13 Februari.
Febriany menambahkan, INCO juga berhasil mencatat saldo kas yang tidak dibatasi penggunaannya menjadi 698,8 juta dolar AS pada akhir tahun 2023. Menurutnya saldo kas yang kuat ini akan memungkinkan perseroan untuk terus mencapai kemajuan yang baik dalam proyek-proyek pertumbuhan.
Menurutnya hasil yang baik ini tentunya didukung oleh peningkatan kinerja keselamatan. Adapun total Recordable Injury Frequency Rate (TRIFR) INCO turun dari 0,64 pada tahun lalu menjadi 0,31.
“Dan kami telah menerima peringkat lingkungan PROPER Hijau (melampaui ketaatan) dari pemerintah, untuk keempat kalinya,” sambung Febriany.
Ia menambahkan, produksi INCO pada tahun 2023 mencapai 70.728 metrik ton nikel dalam matte atau naik 18 persen dari produksi tahun 2022, yang merupakan hasil pelaksanaan strategi pemeliharaan di sepanjang tahun.
“Pada triwulan keempat tahun 2023 Vale melakukan produksi sebesar 19.084 ton,” imbuh Febriany.
Kemudian, volume penjualan pada tahun 2023 meningkat sebesar 17 persen dibandingkan dengan tahun 2022 dan naik 20 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.
Meskipun harga realisasi rata-rata lebih rendah pada tahun 2023, namun perseroan mampu mempertahankan biaya produksi di 10.089 dolar AS per ton pada tahun 2023, yang berkontribusi pada kenaikan laba kotor sebesar 11 persen pada tahun tersebut.
Dikatakan Febriany, biaya produksi ini mengalami penurunan sebesar 12 persen menjadi 10.089 dolar AS per ton dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 11.444 dolar AS per ton.
“Penurunan ini disebabkan oleh lebih rendahnya biaya energi dan berbagai inisiatif peningkatan produktivitas yang telah dilakukan perusahaan,” pungkas Febriany.