JAKARTA, Cobisnis.com – Kasus pencucian yang yang diduga melibatkan Raffi Ahmad sempat menghebohkan publik.
Raffi Ahmad, seorang tokoh terkenal dalam dunia hiburan, dituding melakukan tindakan pencucian uang oleh Hanifa Sutrisna, yang menjabat sebagai Ketua Umum DPP National Corruption Watch (NCW), dalam sebuah siaran yang dipublikasikan di akun TikTok @nasionalcorruption.
Mengenai tuduhan tersebut, Raffi Ahmad dengan tegas menyangkalnya saat diwawancarai di kawasan BSD, Tangerang Selatan, seperti yang dilaporkan oleh Detikcom pada hari Senin (5/2/2024).
Tindakan pencucian uang, menurut keterangan dari laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pertama kali muncul pada tahun 1920 di Amerika Serikat.
Dalam terminologi hukum, tindakan tersebut merupakan usaha untuk menyembunyikan atau menyamaratakan asal-usul uang atau dana yang didapatkan dari kejahatan atau tindak pidana tertentu, sehingga terlihat seolah-olah berasal dari sumber kekayaan yang sah. Di Indonesia, perbuatan ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Terdapat tiga jenis tindakan yang termasuk dalam kategori pencucian uang, menurut undang-undang tersebut, yaitu:
1. Mengatur, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayar, mendermakan, menitipkan, mengeluarkan dari negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga, atau melakukan tindakan lain terhadap kekayaan yang diketahui atau diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamaratakan asal-usul kekayaan tersebut.
2. Menyembunyikan atau menyamaratakan asal-usul, sumber, lokasi, tujuan, transfer hak, atau kepemilikan yang sebenarnya dari kekayaan yang diketahui atau diduga merupakan hasil tindak pidana.
3. Menerima, memiliki, mengendalikan penempatan, transfer, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, pertukaran, atau penggunaan kekayaan yang diketahui atau diduga merupakan hasil tindak pidana.
Sementara itu, Deputi Bidang Strategi dan Kerja sama PPATK, Tuti Wahyuningsih, mengungkapkan lima praktik pencucian uang yang paling umum terjadi di Indonesia. Praktik-praktik ini bervariasi mulai dari transaksi atas nama individu hingga melibatkan teknologi kecerdasan buatan.
Menurut Tuti, sejak berdirinya PPATK 20 tahun yang lalu, bentuk praktik pencucian uang di Indonesia telah berkembang dari satu tipe menjadi lima tipe. Perkembangan ini mencakup penempatan uang hasil kejahatan hingga tahap transaksi yang melibatkan berbagai jenis teknologi keuangan.
Praktik pertama dilakukan dengan menggunakan identitas individu. Praktik kedua yang umum terjadi adalah transaksi yang melibatkan keluarga.
Praktik ketiga melibatkan penyalahgunaan identitas orang lain.
Praktik keempat, yang lebih rumit, melibatkan perpindahan lintas batas hukum. Hal ini dilakukan oleh pelaku untuk memanfaatkan peraturan di negara-negara dengan regulasi yang lebih longgar daripada di Indonesia.
Praktik kelima, menurut Tuti, semakin sulit dikendalikan karena pelaku kejahatan menggunakan teknologi keuangan, pencucian uang profesional, dan kecerdasan buatan untuk menyamarkan transaksi mereka.
Lebih lanjut, Tuti menjelaskan bahwa terdapat tiga tahap umum yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang, yaitu penempatan (placing), pelapisan (layering), dan integrasi (integrating).
Dalam tahap penempatan, pelaku biasanya menyimpan uang hasil kejahatan mereka melalui lembaga keuangan seperti bank atau tabungan deposito.
Selanjutnya, pada tahap pelapisan, pelaku melakukan transaksi berulang-ulang dengan berbagai penyedia jasa keuangan untuk menyamarkan asal uang tersebut.
“Tahap pelapisan memiliki beragam modus yang semakin canggih seiring berjalannya waktu, dan saat ini terdapat juga penggunaan mata uang digital seperti bitcoin dan kripto,” kata Tuti.
Tahap terakhir adalah integrasi, di mana uang yang diduga berasal dari kejahatan dimasukkan ke dalam mekanisme yang legal atau disimpan di bisnis yang sah. Hal ini menyebabkan uang hasil kejahatan tersebut bercampur dengan uang dari bisnis yang legal, sehingga sulit dilacak.