JAKARTA, Cobisnis.com – Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan memberikan tanggapan terhadap protes pengusaha terkait penerapan pajak diskotek, karaoke, kelab malam, bar, hingga spa, yang berkisar antara 40 persen hingga 75 persen. Besaran pajak ini diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah atau UU HKPD.
Lydia Kurniawati Christyana, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK, menyatakan bahwa penerapan pajak hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen disebabkan oleh fakta bahwa penikmat hiburan seperti karaoke hingga spa berasal dari kalangan tertentu.
“Dijelaskan bahwa jasa hiburan khusus ini dikonsumsi oleh kelompok tertentu masyarakat. Oleh karena itu, tidak melibatkan masyarakat umum atau mayoritas,” ujar Lydia dalam Media Briefing di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (16/1).
Lydia menjelaskan bahwa penerapan pajak khusus ini telah mendapatkan persetujuan dari DPR RI. Selama proses pembahasan UU HKPD bersama DPR RI, disepakati bahwa tarif pajak hiburan untuk karaoke hingga spa berkisar antara 40 persen hingga 75 persen.
“Jadi, selama dinamika pembahasan bersama DPR, angka tersebut kemudian disetujui,” ungkap Lydia.
Selain itu, kinerja keuangan bisnis karaoke, diskotek, hingga spa juga telah pulih ke tingkat sebelum pandemi. Lydia mencatat bahwa pendapatan pajak daerah dari hiburan khusus tersebut mencapai Rp2,4 triliun pada tahun 2019. Data internal untuk tahun 2023 menunjukkan pendapatan sebesar Rp2,2 triliun.
“Jadi, total pendapatan dari pajak hiburan pada tahun 2019 mencapai Rp2,4 triliun. Pada masa pandemi Covid-19 pada tahun 2020, pendapatan turun drastis sekitar Rp787 miliar. Pada tahun 2021, turun lagi sekitar Rp477 miliar. Namun, pada tahun 2022, pendapatan naik dari Rp477 miliar menjadi Rp1,5 triliun. Saat ini, data kami hingga 2023 mencapai Rp2,2 triliun,” ungkap Lydia.
Lydia menambahkan bahwa UU HKPD juga memberikan peluang bagi pelaku usaha diskotek, karaoke, hingga spa untuk mengajukan insentif jika mengalami kesulitan membayar kewajiban pajaknya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 101 UU HKPD.