JAKARTA,Cobisnis.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut, Indonesia sedang berusaha mencapai hilirisasi komoditas-komoditas unggulan yang dimiliki, tidak hanya pada komoditas mineral, tetapi juga komoditas nonmineral, hasil pertanian, dan kelautan.
Proses hilirisasi juga harus melibatkan transfer teknologi dengan memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT), serta meminimalisasi dampak lingkungan.
Hal tersebut disampaikan Presiden Jokowi pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT ke-78 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, pada Rabu, 16 Agustus.
Jokowi menuturkan, ekonomi hijau dan hilirisasi merupakan window of opportunity bagi Indonesia untuk meraih kemajuan, dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang dimiliki, termasuk bahan mineral, hasil perkebunan, hasil kelautan, serta sumber energi EBT.
“Kaya SDA saja tidak cukup, jadi pemilik saja tidak cukup, karena itu akan membuat kami menjadi bangsa pemalas yang hanya menjual bahan mentah kekayaannya tanpa ada nilai tambah, tanpa ada keberlanjutan,” ujarnya.
Untuk menjalankan amanat tersebut, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan menerapkan kebijakan industrialisasi berbasis hilirisasi yang memberikan berbagai manfaat, baik dalam bentuk nilai tambah industri, penerimaan negara, serta kesejahteraan masyarakat.
“Pada hilirisasi nikel, Kemenperin menghitung potensi nilai tambah pada industri smelter nikel yang dapat memproduksi hingga produk hilir. Dibandingkan harga nikel ore mentah yang sebesar 30 dolar AS/ton, apabila diolah hingga menjadi MHP, nilai tambah komoditas tersebut dapat meningkat 120,94 kali atau mencapai 3.628 dolar AS/ton,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan tertulis, Jumat, 18 Agustus.
Untuk mengoptimalkan peningkatan nilai tambah dengan mengolah komoditas menjadi produk-produk hilir, Kemenperin melakukan langkah-langkah menghadirkan industri, yakni melalui promosi investasi bagi produk hilir termasuk dengan insentif fiskal dan nonfiskal, perluasan kerja sama internasional untuk mengisi pasar ekspor baru, serta memperkuat kemampuan negosiasi dan posisi dalam upaya menghadapi tekanan dari perdagangan dan diplomasi internasional.
Pada sektor industri agro, Kemenperin mengupayakan hilirisasi dapat menghasilkan produk-produk inovatif yang memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama untuk mendukung keberlanjutan lingkungan. Hilirisasi komoditas kelapa sawit menghasilkan oleo food complex yang merupakan produk-produk baru pangan modern yang sehat dan bernutrisi.
Kemudian, biomaterial complex yang juga dapat memacu penguasaan teknologi dan komersialisasi industri biomaterial baru untuk substitusi impor, serta bahan bakar nabati berbasis sawit (biodiesel, green diesel, green fuel, biomass) sebagai bahan bakar EBT untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Indikator pencapaian program hilirisasi kelapa sawit ditunjukkan oleh perubahan komposisi ekspor antara bahan baku dan produk olahan. Pada 2015, komposisi ekspor minyak sawit meliputi 18 persen CPO dan 6 persen CPKO, sisanya 61 persen produk refinery, serta 15 persen produk lainnya.
Pada 2022, komposisi ekspor bahan baku mengalami penurunan menjadi 2 persen CPO dan 4 persen CPKO, serta selebihnya merupakan produk hilir yang meliputi 73 persen produk refinery dan 21 persen produk lainnya. Industri kelapa sawit berkontribusi sebesar 3,5 persen terhadap PDB nasional.
Industri manufaktur juga didorong memanfaatkan EBT untuk mewujudkan industri yang berkelanjutan. Tercatat, beberapa kawasan industri telah berinvestasi pada penyediaan listrik dengan EBT, baik yang berasal dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), maupun sumber EBT lainnya.
“Kemenperin bekerja sama dengan berbagai pihak dalam mengembangkan Eco Industrial Park (EIP) atau kawasan industri ramah lingkungan yang berimplikasi penting terhadap pelestarian lingkungan dalam sektor perindustrian,” kata Menperin Agus.
Untuk menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang mendukung berjalannya hilirisasi, Kemenperin mengakselerasi pembangunan SDM industri yang produktif, kompeten, dan berdaya saing global di era transformasi digital.
Dengan terus memperhatikan perkembangan teknologi dan juga dinamika di dunia internasional, kata Agus, pihaknya terus beradaptasi terhadap paradigma dari waktu ke waktu yang semakin berkembang, antara lain terkait EBT dan digitalisasi untuk menghasilkan green product.
“Keberhasilan hilirisasi membutuhkan dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak untuk mengatasi tantangan-tantangan yang ada, seperti ketersediaan infrastruktur, energi, logistik, perizinan, fasilitas fiskal, maupun keamanan,” pungkasnya.