Cobisnis.com – Pemerintah akan mengantisipasi terjadinya perlambatan ekonomi bauk masyarakat dan dunia usaha, dengan adanya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
“Kita melihat bahwa langkah-langkah untuk penanganan kesehatan yang memang dan perlu harus dilakukan karena memang Virus Korona (Covid-19) merupakan masalah prioritas nasional yang kita semua harus ikut melakukan penanganan untuk mencegah penyebarannya,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat memberikan keterangan pers melalui konferensi video seperti dilansir Cobisnis dari setkab.go.id pada Jumat 17 April 2020.
Menurut Sri Mulyani, memang Covid-19 memberikan dampak kepada aktivitas ekonomi dan kemudian pada penerimaan perpajakan sehingga Pemerintah mengantisipasi pada bulan-bulan mendatang penerimaan pajak akan mencerminkan kegiatan-kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat yang melambat tersebut.
“Tadi saya sampaikan untuk breakdown-nya penerimaan jenis pajak kita PPh pasal 21 yang masih tumbuh 4,94% ini sangat kecil dibandingkan kenaikan PPh pasal 21 pada tahun lalu yang tumbuhnya double digit di 14,7. Dan untuk PPh Pasal 21 pun tadi kami perlu untuk waspadai karena kalau ada kenaikan itu indikasinya adalah untuk mereka yang mengalami PHK,” imbuh Menkeu.
PPh 22 impor, menurut Menkeu, sudah mengalami kontraksi dan ini kemudian menunjukkan adanya juga kegiatan impor yang menurun yang konsisten dengan tadi bea masuk dan data mengenai impor.
“Untuk PPh OP kita yang merosot sangat tajam 52,23% itu akibat adanya pergeseran deadline penyerahan SPT orang pribadi sampai dengan akhir April ini. Kita berharap nanti masih bisa dikompensasi dan terekam pada penerimaan bulan April nanti. Tahun lalu PPh OP ini tumbuh masih sangat sehat pasca tax amnesty yaitu 20,58%,” imbuh Menkeu.
PPh badan, tambah Menkeu, juga mengalami tekanan yang sangat besar, kalau tahun lalu masih tumbuh 14,6% pada bulan Maret, pada bulan Maret tahun ini sudah mengalami kontraksi sangat dalam yaitu 13,56%. yang disebabkan karena perusahaan-perusahaan mulai menurunkan setoran reguler masa mereka.
“Jadi perusahaan-perusahaan setorannya menurun 2,1% dan setoran tahunannya tumbuh -40%. Ini yang menyebabkan penerimaan PPh badan kita mengalami tekanan sangat besar,” urai Menkeu.
Untuk PPh 26, Menkeu menyebutkan, restitusi tahun 2019 yang sangat besar karena akibat adanya banding yang tidak mengalami pengulangan sehingga PPh 26 untuk tahun ini tidak mengalami klaim dari restitusi sepertinya terjadi pada tahun 2019.
Menkeu menambahkan, makanya terlihat pasal 26 seperti tumbuh sangat besar, akibat tidak adanya restitusi yang terjadi seperti tahun 2019.
“PPh final kita yang mencapai Rp28,49 triliun itu mengalami 9,75%. Ini juga sekali lagi akibat tahun lalu yang kontraktif karena adanya restitusi dan ini tidak terulang pada triwulan I tahun 2020 ini sehingga pertumbuhan PPh final sama seperti PPh 26 tidak mencerminkan sesuatu yang berhubungan dengan fundamental tapi lebih karena ada yang tidak berulang,” urai Menkeu.
PPN dalam negeri, lanjut Menkeu, yang ini merupakan kontributor terbesar juga di dalam pajak penerimaan bersama-sama dengan PPh badan menggambarkan penerimaan Rp51,63 triliun atau dia kontribusinya 21,37%.
“Yang paling besar di dalam keseluruhan penerimaan komposisi pajak kita, dan tumbuh 10,2%. Namun tadi sudah saya sampaikan pertumbuhan ini adalah merekam kegiatan nilai tambah sampai dengan Februari. Kita akan lihat nanti pada bulan Maret dimana sebagian 2 minggu terakhir sudah terjadinya penurunan aktivitas,” kata Menkeu.
Ini juga, sambung Menkeu, kenaikan pertumbuhan 10,27% dari PPN dalam negeri akibat adanya perlambatan restitusi sampai dengan triwulan I tahun 2020.
Terakhir, tambah Menkeu, untuk PPN impor sama seperti mencerminkan kegiatan impor yang menurun mengalami kontraksi -8,7% atau terkumpul Rp37 triliun dan merupakan kontributor 15,3% dari total penerimaan pajak.
“Jadi kalau kita lihat beberapa yang menjadi catatan kita pada bulan Maret ini, kinerja PPh pasal 21 kalau kita lihat, ini kita lihat dalam 3 bulan; Januari, Februari, Maret, perlambatan terjadi pada bulan Maret. Jadi kalau kita lihat PPh pasal 21 tadinya Januari ke Februari tapi kemudian bulan Maret langsung mengalami penurunan,” ujarnya.
Pertumbuhannya pun, tambah Menkeu, diakibatkan adanya jaminan hari tua, dan pensiun yang mengalami pertumbuhan 10,12% yang tadi adalah diasosiasikan dengan pemutusan hubungan kerja.
“Tadi PPh 22 impor sudah saya sampaikan. Untuk Orang Pribadi penurunan yang sampai dalam -63,53 ini akibat pergeseran dari waktu untuk penyerahan SPT Orang Pribadi,” imbuhnya.
Jadi, menurut Menkeu, Januari-Februari masih tumbuh positif tapi Maret karena terjadinya Covid-19 yang kemudian terjadi distancing dan work from home kemudian Pemerintah memberikan relaksasi sehingga langsung drop penerimaan yang yang seharusnya diterima pada bulan Maret.
“PPh badan mengalami tekanan berturut dari mulai bahkan Januari, ini yang kita sampaikan bahwa perusahaan-perusahaan mengalami tekanan penerimaan semenjak 2019,” urainya.
Oleh karena itu, Menkeu sebutkan perusahaan melakukan koreksi terhadap pembayaran masa mereka yang menjadi salah satu warning bagi Pemerintah untuk melihat kesehatan keuangan dari perusahaan-perusahaan.
“Tadi PPh 26 sudah saya sampaikan, dan untuk PPN dalam negeri juga sudah saya sampaikan. Namun kalau kita lihat tadi positifnya PPN dalam negeri terlihat Desember double digit, itu rekaman bulan Desember, kemudian Januari 6,97 dan Februari 8,35,” katanya.
Adanya suatu kenaikan, sambung Menkeu, namun kemudian nanti akan kita lihat pada bulan Maret ini dan untuk PPN impor menjadi penyumbang dari pajak pertambahan nilai untuk barang-barang impor.
Ia menambahkan, kalau dilihat per sektor penerimaan pajak, Pemerintah akan melihat mana yang mengalami tekanan. “Sebetulnya masih meneruskan tren selama ini, sektor pertambangan terus-menerus masih mengalami kontraksi sepanjang 2019 hingga 2020 masih belum ada perubahan cerita atau situasi di bidang pertambangan,” pungkasnya.