JAKARTA, Cobisnis.com –Tingkat inflasi tahunan pada 2021 mencapai 1,87 persen. Seperti yang telah dipaparkan Badan Pusat Statistik (BPS), meski meningkat dari 1,68 persen di 2020, angka ini masih jauh berada di bawah target yang ditetapkan BI sebesar 3,0±1%.
Rendahnya tingkat inflasi tahun 2021 dipengaruhi oleh permintaan domestik yang belum sepenuhnya pulih sebagai dampak pandemi Covid-19. Tingkat inflasi mayoritas didorong oleh kenaikan harga bahan pangan atau kelompok inflasi volatile food.
Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), Budi Hikmat mengatakan, 2022 akan menjadi tahun inflasi global, termasuk bagi Indonesia. Berbagai negara maju mengalami tingkat inflasi yang cukup tinggi, bahkan ada yang masuk tahap terlalu tinggi dan mayoritas didorong oleh kenaikan harga energi serta komoditas.
Namun, di Indonesia tidak akan terjadi hal serupa, karena Indonesia memiliki berbagai skema subsidi terkait dengan harga energi. Bahkan tren kenaikan inflasi yang masih stabil ini bisa menjadi indikator bahwa pemulihan ekonomi Indonesia sedang berjalan.
Sisi positif yang dapat dijadikan peluang dari tren kenaikan inflasi di 2022 adalah di pasar saham.
Meski di satu sisi, naiknya angka inflasi akan berpengaruh kepada daya beli masyarakat, namun, di
sisi lain para produsen dan emiten di beberapa sektor dapat memanfaatkan momentum ini untuk memperbaiki margin usaha dengan menaikan harga jual produk mereka. Sehingga akan berpengaruh kepada pasar saham berkat kinerja emiten yang membaik seiring terkontrolnya tingkat inflasi.
“Kami perkirakan selama 2022, tingkat inflasi akan terjaga di level tiga persen. Kami melihat Bank Indonesia (BI) mampu mengendalikan inflasi dengan tools moneternya. Saat ini BI masih mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, yang berarti BI masih memiliki ruang yang cukup untuk melakukan kebijakan untuk mengkontrol laju inflasi agar tetap
berada dalam kisaran target,” ujar Budi.
Budi menambahkan bahwa sangat terbuka kemungkinan BI akan meningkatkan suku bunga acuan saat inflasi bergerak naik. Namun, kami memperkirakan BI berpotensi baru akan mulai menaikkan
suku bunga di semester kedua 2022 sebanyak dua kali (2x25bps) untuk mengantisipasi kenaikan inflasi domestik.
Dengan demikian, Bahana TCW memproyeksikan reksa dana saham akan menjadi instrumen paling menarik selain reksa dana pasar uang yang akan kembali memberikan rate yang menarik seiring
kenaikan suku bunga acuan BI. Sedangkan reksa dana obligasi diperkirakan akan memberikan return single digit, lebih rendah dibandingkan 2020 dan 2021.
Tingkat suku bunga acuan yang dijaga tetap rendah merupakan salah satu bentuk dukungan ekstra BI terhadap upaya pemulihan ekonomi. Jika melihat tren selama 10 tahun terakhir, dimana kisaran suku bunga acuan BI berada di angka 4 persen hingga 6 persen, tingkat suku bunga saat ini merupakan tingkat suku bunga terendah dalam sejarah. Jikalau tahun ini suku bunga naik, maka, Bahana TCW melihat hal itu bukan sebagai pengetatan tapi lebih kepada normalisasi kebijakan moneter BI. Sekaligus menjadi tanda perekonomian kita sudah sehat dan tidak lagi membutuhkan dukungan ekstra seperti sebelumnya.
“Seiring pemulihan ekonomi pasca pandemi, level inflasi domestik akan menunjukkan peningkatan,
tapi secara fundamental, BI masih memiliki ruang untuk mengontrol tingkat inflasi ke level yang lebih sehat atau healthy inflation. Dengan demikian pemulihan ekonomi pasca pandemi dapat berjalansebagaimana ditargetkan pemerintah,” tutup Budi.