Cobisnis.com – Asosiasi Industri Olefin Aromatik Plastik Indonesia (INAPLAS) menyebutkan mega proyek petrokimia beresiko menanggung biaya modal tinggi akibat masa kredit PPN di Indonesia yang relatif terlalu pendek. Hal ini berpotensi menyebabkan investasi tersebut dipindahkan ke negara lain dengan sistem PPN yang lebih ramah terhadap investasi.
Ketua Umum Asosiasi Industri Olefin Aromatik Plastik Indonesia (INAPLAS) Suhat Miyarso menjelaskan dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian sangat besar mengingat nilai investasi per proyek mencapai milyaran USD.
Dalam situasi normal, kata dia, konfigurasi mega investasi petrokimia terintegrasi yang begitu kompleks memerlukan waktu konstruksi antara 5 – 8 tahun.
Akibat dampak pandemi Covid-19, masa konstruksi diperkirakan lebih lama karena mobilisasi ribuan pekerja konstruksi dalam satu wilayah yang sama tidak sesuai dengan protokol keselamatan.
Pandemi juga menyebabkan rencana Final Investment Decision (FID) dari beberapa mega proyek tersebut mundur akibat shock yang terjadi pada industri petrokimia.
Industri petrokimia yang tergabung dalam Asosiasi Industri Olefin Aromatik Plastik Indonesia (INAPLAS) berencana membangun mega proyek petrokimia antara lain:
PT Lotte Chemicals membangun 1 juta Ton Ethylene, 500 ribu Propylene, 250 ribu Ton High Density Polyethylene, 400 ribu Ton Polypropylene; PT Chandra Asri Petrochemical Tbk membangun 1.050 ribu Ton Ethylene, 585 ribu Ton Propylene, 750 ribu Ton Polyethylene (HDPE 450 ribu Ton dan LDPE 300 ribu Ton), 450 ribu Ton Polypropylene, 460 ribu Ton Pygas, 400 ribu Ton Crude C4 dan 160 ribu Ton Butadiene; PT Pertamina (Persero) akan membangun naphta cracker dengan kapasitas 1 juta ton Ethylene di Tuban.
Kemudian, PT Nippon Shokubai Indonesia memperluas 100 ribu Ton Acrylic Acid dan 60 ribu Ton Super Absorber Polymer; PT Asahi Chemicals memperluas 200 ribu Ton Polyvinyl Chloride; PT IPC memperluas 20 ribu Ton PET; serta PT Sulfindo menambah 290 ribu Ton VCM dan 250 ribu Ton PVC.
“Selain hambatan dari situasi pandemi, mega proyek tersebut juga berpotensi terkendala oleh regulasi masa kredit PPN Indonesia yang terlampau pendek. Berdasarkan PMK No 31/PMK.03/2014, masa pengkreditan PPN Masukan hanya diberikan selama 3 (tiga) tahun, dengan tambahan maksimal 2 tahun,” jelas Suhat dalam siaran pers, Minggu (7 Februari 2021).
“Pendeknya masa kredit PPN tersebut menyebabkan mayoritas mega proyek petrokimia tidak dapat mengkreditkan PPN Masukan (Input Tax) terhadap belanja modal (Capital Expenditure / CAPEX), yang justru banyak dibelanjakan mendekati akhir masa konstruksi,” ujarnya.
Hal ini, kata dia, berimplikasi terhadap tingginya biaya modal pembangunan mega proyek petrokimia di Indonesia, karena PPN 10% yang tidak dapat dikreditkan akhirnya menjadi biaya modal.
Sebagai gambaran, mega proyek petrokimia terintegrasi dengan Ethylene Cracker kapasitas 1 juta Ton pertahun memiliki CAPEX typical ~ US$ 5 Miliar dengan demikian biaya modal dari PPN-nya saja bisa bernilai US$ 500 Juta (~ Rp 7 Triliun), diluar biaya modal lainnya.
Sedangkan di negara Thailand dan Vietnam tidak memiliki batasan pengkreditan PPN bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) belum berproduksi. Dengan demikian, investor akan cenderung melihat kedua negara tersebut sebagai lokasi yang lebih layak untuk ditanamkan investasi mega proyek petrokimia.
“Kami mengapresiasi berbagai dukungan dan respon cepat pemerintah, khususnya dalam konteks insentif pajak dan terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU ini sebenarnya telah mengakomodir dalam pasal 9 ayat 6(c), bahwa sektor usaha tertentu dapat memiliki masa kredit lebih dari 3 tahun.”
“Namun, karena Indonesia terakhir memiliki mega proyek petrokimia kurang lebih 30 tahun yang lalu, bisa jadi pemangku kepentingan tidak menyadari bahwa ada mega-proyek strategis yang membutuhkan masa kredit PPN hingga 15 tahun. Dengan demikian, kami mengingatkan dan memohon perhatian kepada pemangku kepentingan agar dapat mengakomodir hal ini dalam regulasi yang sesuai perundang-undangan,” ujar Suhat.