Cobisnis.com – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang mengkaji rencana ekspor listrik ke Singapura. Namun, langkah tersebut hanya solusi jangka pendek untuk menyelamatkan PT PLN (Persero) dari masalah kelebihan pasokan listrik.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, ekspor listrik tidak akan menyelesaikan masalah oversupply dalam jangka pendek. Adanya proyek 35.000 Megawatt (MW) yang sedang berjalan akan membuat oversupply mencapai sekitar 35% tahun ini dan 40% di tahun depan.
“Artinya, perlu ada solusi yang segera untuk menyeimbangkan permintaan dan pasokan. Intinya ada di situ,” ujarnya pada Market Review IDX Channel, Senin (25/1/2021).
Menurut dia, pemerintah harus bisa memastikan permintaan dan pasokan listrik seimbang. Sebab, jika kondisi oversupply ini terus dibiarkan maka akan membuat keuangan PT PLN (Persero) memburuk.
“Karena PLN tetap harus membayar kapasitas yang dibangkitkan, yang sudah terbangun tadi. Kalau PLN membayar kapasitas, sementara tidak bisa menjual maka yang terjadi adalah kondisi finansial akan bermasalah. Ujungnya, pemerintah yang harus membayar dalam bentuk subsidi dalam bentuk kompensasi atau apapun dan ini menurut saya situasi tidak baik,” jelasnya.
Fabby melanjutkan, negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura kemungkinan akan lebih memilih impor listrik dari energi terbarukan dibanding pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Menurut dia, jika ekspor listrik terjadi pada suatu waktu maka kegiatan tersebut diperkirakan tidak akan berlangsung lama.
“Negara ASEAN punya target ambisius terkait energi terbarukan dan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Jadi mereka ingin menghijaukan sistem energinya termasuk juga pasokan listrik yang baik diproduksi maupun diimpor,” tuturnya.
Dia menambahkan, jika ekspor listrik tersebut berasal dari PLTU maka di masa mendatang perhitungan emisi gas rumah kaca akan menjadi tanggung jawab Indonesia. “Jadi ini yang harus dipertimbangkan,” tandasnya.