JAKARTA, Cobisnis.com – Kesepakatan bersejarah untuk mengekang miliaran dolar subsidi yang berkontribusi pada penangkapan ikan berlebih resmi berlaku pada Senin, menurut Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebuah langkah yang dipuji para aktivis sebagai upaya untuk membantu pemulihan stok ikan global.
Ini menjadi perjanjian pertama yang berlaku di WTO sejak 2017, setelah bertahun-tahun debat buntu dan pertikaian, ditambah lonjakan tarif AS belakangan ini yang membuat beberapa kritikus mempertanyakan masa depan badan berbasis di Jenewa tersebut.
Ratifikasi resmi oleh Brasil, Kenya, Tonga, dan Vietnam pada Senin berarti kesepakatan yang pertama kali disetujui pada 2022 itu kini telah mendapat dukungan dua pertiga anggota, kata juru bicara WTO.
Pemerintah kini dilarang memberikan subsidi untuk stok ikan yang sudah berkurang dan untuk aktivitas penangkapan ikan di perairan internasional di luar yurisdiksi mereka. Negara-negara miskin akan dapat mengakses dana untuk membantu transisi menuju penerapan kesepakatan ini.
“Stok ikan di seluruh dunia kini memiliki kesempatan untuk pulih, demi keberlangsungan nelayan lokal yang bergantung pada laut yang sehat,” kata Megan Jungwiwattanaporn dari Pew Charitable Trusts.
Pemerintah di seluruh dunia membayar sekitar $35,4 miliar per tahun untuk armada perikanan mereka, termasuk subsidi bahan bakar yang memungkinkan mereka menangkap ikan di laut jauh, menurut studi Marine Policy tahun 2019. Studi itu mencatat lima penyumbang subsidi terbesar adalah Tiongkok, Uni Eropa, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang. Meskipun tidak semuanya masuk dalam cakupan kesepakatan WTO.
Negosiasi mengenai aturan tambahan perikanan yang mencakup isu-isu kontroversial yang tidak termasuk dalam kesepakatan pertama masih terhambat, karena India dan negara berkembang lain meminta pengecualian yang dinilai tidak dapat diterima oleh banyak negara lain.
Bagian pertama dari perjanjian yang mulai berlaku pada Senin itu memakan waktu lebih dari 20 tahun negosiasi, dan akan kedaluwarsa dalam empat tahun jika aturan yang lebih komprehensif tidak disepakati.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala dalam sebuah wawancara awal bulan ini mengatakan ada alasan untuk optimisme bahwa lembaga tersebut bisa menyelesaikan pembicaraan atau menemukan cara untuk mencegah kesepakatan pertama berakhir.














