JAKARTA, Cobisnis.com – Drone buatan China telah lama mendominasi langit Amerika Serikat, digunakan secara luas oleh pemilik pribadi, kepolisian, hingga pemadam kebakaran di berbagai wilayah. Namun, aturan baru yang dikeluarkan Federal Communications Commission (FCC) pada Selasa lalu membuat konsumen AS tidak lagi dapat membeli generasi terbaru drone tersebut.
FCC melarang impor dan penjualan seluruh model drone baru serta peralatan penting yang diproduksi oleh pabrikan asing, termasuk DJI yang merupakan produsen drone terbesar di dunia. Larangan ini dilakukan dengan memasukkan perusahaan-perusahaan tersebut ke dalam daftar khusus yang disebut Covered List, yakni entitas yang dinilai “menimbulkan risiko yang tidak dapat diterima terhadap keamanan nasional Amerika Serikat”.
Keputusan FCC ini tidak berlaku untuk model drone yang sudah lebih dulu disetujui dan beredar di pasaran, serta drone yang saat ini masih digunakan. Meski demikian, kebijakan tersebut menandai puncak dari upaya bertahun-tahun pemerintah AS untuk menekan penggunaan drone buatan China, termasuk produk DJI dan Autel Robotics.
DJI menyatakan kekecewaannya atas keputusan tersebut, yang juga berpotensi memicu keresahan di kalangan pengguna drone di AS. Berdasarkan data Research and Markets, DJI menguasai sekitar 70% pangsa pasar global. Di luar sektor publik, drone buatan China banyak digunakan di AS untuk inspeksi infrastruktur dan konstruksi, pemantauan pertanian, hingga kebutuhan videografi profesional dan hobi.
Pada Juni lalu, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk mempercepat komersialisasi teknologi drone serta meningkatkan produksi drone dalam negeri guna melawan “kendali atau eksploitasi asing”. Ketua FCC Brendan Carr menegaskan bahwa pemerintah AS akan bertindak untuk mengamankan wilayah udara nasional dan mendorong dominasi drone buatan Amerika, tanpa mengganggu penggunaan drone yang sebelumnya telah disahkan.
FCC juga memastikan bahwa impor, penjualan, dan penggunaan model drone yang telah mendapat izin sebelumnya tetap diperbolehkan. Konsumen pun masih dapat menggunakan drone yang telah dibeli secara legal.
Pengumuman ini muncul setelah Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional 2025 mewajibkan peninjauan keamanan terhadap peralatan yang diproduksi DJI, Autel, dan produsen drone asing lainnya paling lambat 23 Desember 2025. Sepanjang tahun lalu, DJI telah berulang kali menyatakan kesiapannya untuk menjalani pemeriksaan dan bersikap transparan kepada otoritas AS.
Namun, FCC menyebut keputusannya didasarkan pada penilaian badan antarlembaga cabang eksekutif Gedung Putih yang menyimpulkan bahwa drone dan komponen buatan asing “berpotensi memungkinkan pengawasan berkelanjutan, pengambilan data secara ilegal, serta operasi destruktif di wilayah AS”.
Pihak DJI menilai keputusan tersebut tidak disertai penjelasan bukti yang jelas dan menyebut kekhawatiran soal keamanan data lebih mencerminkan proteksionisme dibandingkan prinsip pasar terbuka. Sementara itu, pemerintah China melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Lin Jian menyebut langkah FCC sebagai tindakan diskriminatif dan meminta AS menciptakan lingkungan bisnis yang adil bagi perusahaan China.
Kekhawatiran terhadap drone buatan China sebenarnya sudah muncul sejak lama. Pada 2017, Angkatan Darat AS melarang penggunaan drone DJI karena celah keamanan siber. DJI juga sempat masuk daftar hitam Departemen Perdagangan AS pada 2020 dan pembatasan investasi oleh Departemen Keuangan AS pada 2021. Pada 2022, Departemen Pertahanan AS memasukkan DJI ke dalam daftar perusahaan yang diduga bekerja sama dengan militer China, meski DJI membantah tuduhan tersebut dan kalah dalam gugatan hukum tahun ini.














