NUSA DUA, Cobisnis.com – Dinamika hubungan dagang antara Indonesia dan Uni Eropa memasuki babak baru. Di tengah rencana Komisi Eropa untuk menunda penerapan regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) selama 12 bulan, kedua pihak justru menandatangani kesepakatan dagang bersejarah Indonesia–EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) yang diyakini akan membuka era baru perdagangan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa, Andri Hadi, menyampaikan bahwa usulan penundaan EUDR hingga Desember 2026 dilakukan karena kekhawatiran atas kesiapan sistem teknologi informasi (IT system) yang akan digunakan untuk melacak rantai pasok komoditas.
“Penundaan ini mencerminkan kesadaran bahwa penerapan EUDR harus matang secara teknis dan adil bagi seluruh pihak,” ujar Dubes Andri Hadi di gelaran IPOC 2025 yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kamis (13/11/2025).
Namun, langkah ini memicu perdebatan di Eropa. Sejumlah perusahaan besar seperti Nestlé, Ferrero, dan Olam Agri menilai penundaan akan merugikan pihak yang sudah berinvestasi besar untuk mematuhi regulasi sejak awal.
Berdasarkan proposal terbaru, usaha kecil dan mikro akan mendapatkan perpanjangan waktu hingga 30 Desember 2026, sementara usaha menengah dan besar tetap akan menerapkan regulasi mulai 30 Desember 2025, dengan masa transisi enam bulan untuk proses verifikasi resmi.
Pembahasan final EUDR dijadwalkan sebelum sidang pleno terakhir pada 15 Desember 2025. Jika disetujui, teks final akan dirilis awal Desember dan disahkan pada akhir tahun ini. Namun jika gagal, regulasi tetap berlaku tanpa tambahan masa transisi.
Sementara perdebatan EUDR berlangsung, Indonesia dan Uni Eropa mencatat kemajuan penting dengan penyelesaian negosiasi CEPA pada 23 September 2025.
Perundingan yang dimulai sejak 2016 itu memakan waktu hampir satu dekade dengan 19 putaran negosiasi.
Kesepakatan politik sempat dicapai pada Juli 2025 untuk menyelaraskan isu teknis seperti ketelusuran, pendanaan pembangunan, dan sistem benchmarking.
CEPA dinilai sebagai kesepakatan komprehensif karena menghapus hingga 98% tarif perdagangan, serta membuka akses bagi 90,4% ekspor Indonesia ke pasar Uni Eropa.
Sektor yang paling diuntungkan antara lain kelapa sawit dan produk turunannya, perikanan, tekstil, alas kaki, serta industri teknik dan logam.
“CEPA bukan sekadar perjanjian dagang, tetapi simbol kemitraan strategis yang menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan komitmen keberlanjutan,” ungkap Andri Hadi.
Dalam sektor jasa dan investasi, CEPA juga memperluas mobilitas profesional, memberi perlakuan setara bagi penyedia jasa Indonesia, dan membuka peluang kerja sama di bidang energi hijau, ICT, dan farmasi.
Khusus untuk kelapa sawit, kesepakatan ini mencakup penghapusan tarif impor serta pembentukan Protokol Minyak Sawit (Palm Oil Protocol) mekanisme khusus yang memastikan komoditas sawit diperlakukan adil dan berkelanjutan.
Dubes Andri menegaskan bahwa CEPA tidak dimaksudkan untuk menggantikan EUDR, melainkan menjadi platform kerja sama paralel untuk memperkuat dialog keberlanjutan, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi hijau.
CEPA juga menegaskan pengakuan atas hak regulasi masing-masing pihak, serta mendorong kerja sama di bidang iklim, kesetaraan gender, ketenagakerjaan, dan tata kelola bisnis yang bertanggung jawab.
“Lewat CEPA, kita ingin memastikan bahwa perdagangan tidak lagi dilihat dari kacamata proteksi, tetapi dari kolaborasi dan keadilan,” tegas Andri.
Dengan penandatanganan CEPA dan pembahasan ulang EUDR, hubungan ekonomi Indonesia–Uni Eropa kini bergerak menuju fase baru, lebih inklusif, berkeadilan, dan berorientasi pada masa depan hijau.














