JAKARTA, Cobisnis.com – Sudan kembali jadi sorotan dunia setelah pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) dilaporkan melakukan pembantaian massal di kota El Fasher, wilayah Darfur Utara. Kota ini jatuh ke tangan RSF setelah pertempuran sengit dengan militer Sudan, dan sejak itu laporan kekerasan brutal mulai bermunculan.
Ratusan pria disebut ditembak di tempat, sementara warga sipil lainnya hilang tanpa jejak. Sejumlah saksi menyebut pasukan RSF melakukan eksekusi dari rumah ke rumah, termasuk di fasilitas kesehatan dan kamp pengungsi. Kekerasan ini disebut sebagai salah satu tragedi paling kelam sejak konflik Sudan pecah pada 2023.
Organisasi kemanusiaan internasional menggambarkan situasi di El Fasher sebagai “bencana kemanusiaan”. Rumah sakit tutup, listrik padam, dan akses bantuan hampir mustahil dilakukan. Ribuan warga berusaha kabur, tapi banyak yang terjebak di tengah baku tembak.
PBB memperingatkan, aksi RSF bisa mengarah pada pembersihan etnis. Banyak korban disebut berasal dari kelompok etnis tertentu yang sebelumnya juga jadi target pada konflik Darfur tahun 2003. Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan terulangnya tragedi genosida yang dulu menewaskan ratusan ribu orang.
Pemimpin RSF, Mohamed Hamdan Dagalo alias Hemedti, menolak tuduhan itu. Ia mengklaim pasukannya hanya “mengamankan wilayah” dari milisi bersenjata pro-militer. Namun, bukti lapangan dan kesaksian warga menunjukkan pola kekerasan sistematis terhadap warga sipil.
Sementara itu, militer Sudan di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan bersumpah akan merebut kembali El Fasher. Namun perang di lapangan justru semakin brutal, dengan korban sipil yang terus bertambah. Pertempuran di Darfur kini menjadi simbol kegagalan dunia menghentikan kekerasan di Sudan.
Lebih dari 10 juta warga Sudan kini terpaksa mengungsi. Mereka menghadapi kelaparan, penyakit, dan kondisi hidup yang tak manusiawi. Badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) menyebut ini sebagai salah satu krisis pengungsian terbesar di dunia saat ini.
Negara-negara seperti Jerman, Inggris, dan Yordania sudah mendesak gencatan senjata segera. Namun hingga kini belum ada tanda-tanda pihak yang bertikai mau berhenti. Jalur bantuan pun nyaris tak bisa dibuka karena banyak wilayah dikuasai kelompok bersenjata.
Konflik ini juga mengguncang stabilitas kawasan Afrika Timur. Banyak analis menilai, Sudan kini jadi ajang perebutan pengaruh antara kekuatan global dan regional, termasuk Rusia dan Uni Emirat Arab, yang diduga memasok senjata pada pihak-pihak tertentu.
Sementara dunia terus berdebat soal sanksi dan mediasi, rakyat Sudan hanya berharap satu hal: bisa hidup tanpa ketakutan. Dari El Fasher hingga Khartoum, yang tersisa kini hanyalah reruntuhan dan cerita kehilangan.














