JAKARTA, Cobisnis.com – Saya bermimpi, berada di dalam sebuah ruang pertemuan. Suasana ketika itu menjelang kemerdekaan Indonesia, tahun 1945. Di sana berkumpul tokoh-tokoh bangsa. Saling memberi argumen, dan melengkapi satu sama lain, dalam menyusun Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar (UUD).
Tokoh-tokoh bangsa tersebut, yang kita kenal sebagai pendiri Indonesia, ternyata menolak dengan sebutan tersebut. Mereka katakan, jangan sebut kami sebagai pendiri bangsa Indonesia. Karena kemerdekaan ini adalah hasil dari perjuangan seluruh rakyat Indonesia.
Tidak ada yang berhak meng-klaim sebagai pendiri. Memang ada rakyat yang berperan lebih besar, bersuara lebih lantang, ditangkap dan dipenjara atau diasingkan. Tetapi tidak bisa dikatakan sebagai pendiri.
Perjuangan pelajar dan pemuda Indonesia di Hindia Belanda sudah dimulai sejak 1908. Melalui Indische Vereeniging, yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische vereeniging (1922) dan kemudian berubah nama lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (1925).
Mereka menerbitkan buletin Indonesia Merdeka yang isinya membangkitkan semangat perjuangan. Dan mengeluarkan Manifesto Perhimpunan Indonesia yang menuntut pemerintahan sendiri yang mandiri.
Kemudian juga muncul banyak organisasi pemuda lainnya, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Minahasa, Jong Ambon, dan banyak jong-jong lainnya. Yang artinya pemuda. Yang kemudian menyatukan diri menjadi Jong Indonesia pada 1927, dan berubah nama menjadi Pemuda Indonesia pada 1928.
Mereka berikrar, mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia, berbangsa satu, bangsa Indonesia, dengan menggunakan bahasa persatuan Indonesia.
Saya termenung mendengarkan penjelasannya. Sangat kagum. Tidak ada yang mengaku sebagai pendiri, tetapi klaim sebagai pencapaian kolektif seluruh rakyat Indonesia, yang masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri.
Oleh karena itu, Konstitusi ini adalah hak rakyat. Saya mendengar suara lantang. Kedaulatan ada di tangan rakyat Indonesia. Tidak ada pihak yang boleh merebutnya. Semua nasib yang menentukan rakyat umum, harus melalui persetujuan rakyat.
Saya semakin bangga dan terkagum-kagum. Membayangkan nasib rakyat Indonesia yang akan jauh berbeda dari masa penjajahan kolonial. Terbayang hidup rakyat Indonesia yang makmur, adil, berdaulat. Seperti dituangkan di dalam Pembukaan UUD: menjadikan rakyat Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Mimpi saya terganggu. Sedang enak-enaknya membayangkan masa depan Indonesia yang adil dan makmur, saya terseret masuk ke abad 21.
Di sana rakyat tidak berdaya. UUD yang katanya milik rakyat, sudah menjadi milik wakil rakyat. Milik sekelompok orang di parlemen. Mereka yang menentukan semuanya, melalui undang-undang.
Sumber daya alam di daerah habis dikeruk.
Pengeruknya hanya segelintir orang saja. Mereka diberi hak mengeruk oleh UU. Namanya izin pertambangan. Mereka menjadi sangat kaya raya. Sedangkan yang didapat daerah adalah bencana alam. Adil dan Makmur? Hanya ilusi.
Dalam mimpi saya melihat rakyat yang lapar mengambil makanan dari perkebunan negara. Ketahuan, tertangkap, disidang dan dihukum kurungan penjara. Kalau tidak salah dihukum 6 bulan, atau 2 tahun? Saya agak lupa.
Di lain pihak, ada orang yang mencuri uang negara, jumlahnya sangat besar, miliaran bahkan triliunan rupiah, mendapat berbagai kemudahan. Fasilitas. Bahkan ada yang dibebaskan. Dan menurut rumor akan dijadikan penyuluh anti korupsi.
Saya bertanya-tanya, di mana keadilan dan kesetaraan hukum yang diagung-agungkan para tokoh bangsa pada tahun 1945 dulu?
Dalam mimpi saya melihat rakyat sangat tidak berdaya. Rakyat selalu taat Konstitusi. Rakyat melapor kepada penegak hukum untuk melindungi haknya. Tetapi sia-sia. Rakyat melapor kepada wakil rakyat untuk melindungi haknya, juga sia-sia. Bahkan penindasan terhadap hak rakyat semakin menjadi-jadi, dan terbuka.
Dalam mimpi, saya bertemu lagi dengan salah satu tokoh bangsa 1945. Saya bertanya, kenapa semua berbeda dengan pernyataan di ruang pertemuan konstitusi? Kenapa faktanya tidak ada kedaulatan rakyat seperti yang dijanjikan?
Beliau menjawab, kami sudah menyediakan semua hal yang baik untuk bekal di kemudian hari, membuat rakyat Indonesia adil dan makmur. Tetapi, perjalanan hidup memang tidak mudah. Sama seperti kami harus tertindas oleh pemerintahan kolonial.
Tapi kami tidak menyerah, terus menuntut hak merdeka. Akhirnya, berkat Tuhan yang Maha Esa, kami dapat menikmatinya. Ini juga kami tulis dalam Konstitusi.
Karena itu, sekarang terserah rakyat. Haknya sudah diberikan di dalam UUD. Tertulis dengan jelas, Kedaulatan ada di tangan rakyat.
Saya termenung, tidak lama kemudian terbangun. Antara mimpi dan realita. Terserah Rakyat! Terngiang terus dua kata tersebut.
Penulis: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)