JAKARTA, Cobisnis.com – Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menjelaskan, pemerintah selama ini menggunakan definisi sempit dalam menghitung tax ratio, sehingga angka yang ditampilkan tampak lebih rendah dibandingkan dengan potensi riil yang ada.
Ia menuturkan bahwa metode penghitungan yang dipakai saat ini hanya mencakup penerimaan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), yang kemudian dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Menurut Yon agar memperoleh gambaran tax ratio yang lebih menyeluruh, setidaknya ada empat unsur yang perlu dimasukkan, yakni penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA), pajak daerah, serta iuran jaminan sosial.
“Jadi, empat komponen ini setidaknya harus ada di dalam perhitungan sebuah tax ratio. Makanya kalau kita sering kali membandingkan tax ratio kita dengan luar negeri, kemudian hanya membandingkan hanya penerimaan DJP dan DJBC itu rasanya kurang lengkap,” ujar Yon dalam acara diskusi Celios, Selasa, 12 Agustus.
Yon menambahkan, penurunan tax ratio dalam beberapa tahun terakhir tidak otomatis mencerminkan lemahnya kinerja perpajakan.
Menurut dia, terdapat beberapa jenis pajak yang sebelumnya dikelola oleh pemerintah pusat seperti Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) telah dialihkan ke daerah, sehingga tidak lagi tercatat dalam penerimaan pusat.
“Berarti itu sudah gak masuk lagi (perhitungan) tax ratio, Udah keluar dia dari pusat. Jadi tax ratio kita itu kadang-kadang menjadi mengecil bukan karena dia kecil, tapi karena ada beberapa jenis pajak yang kemudian dialokasikan ke daerah, menjadi bagiannya daerah,” ujarnya.
“Kita ngeliat bahwa pajak-pajak untuk hiburan, BPJB ya, barang dan jenis tertentu, hotel dan sebagainya itu pajak. Tapi karena dia sudah dipajaki di daerah, tidak lagi kita mau pajak di pusat. Harusnya dia menjadi PPN, tapi ga lagi karena tidak boleh, tadi tidak ada double taxation. Nah sebenarnya ini pun juga harus kita tarik kembali kalau kita mau menghitung tax ratio secara komprehensif, kalau kita mau memainkan komprehensif,” tambahnya.
Yon menegaskan, sebenarnya rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia berpotensi mencapai angka 13 persen.
“Jadi sebenarnya tax ratio kita itu kalau mau komparasi, itu ya masih relatively sekitar 13 persen hingga 13,5 persen,” katanya.
Meski demikian, Yon mengakui bahwa Indonesia masih memiliki selisih yang cukup besar untuk mencapai target tax ratio ideal sebesar 15 persen dari PDB.
Ia menambahkan jika dibandingkan dengan negara tetangga, posisi Indonesia tidak terlalu tertinggal seperti Malaysia memiliki tax ratio sekitar 12–13 persen, sementara Vietnam yang terlihat lebih tinggi (17–18 persen), ternyata sekitar 5,4 persennya berasal dari iuran jaminan sosial.














