JAKARTA, Cobisnis.com – Perdebatan soal batas antara keuangan negara dan keuangan lembaga publik kembali mencuat, terutama ketika membahas posisi Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 ini punya peran penting dalam mendukung pembiayaan ekspor nasional. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah keuangan LPEI termasuk keuangan negara, ataukah merupakan kekayaan mandiri dari lembaga tersebut?
Menurut Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, Ketua Peminatan Hukum Keuangan Publik dan Perpajakan FH UI, LPEI memiliki karakter sui generis, yaitu badan hukum dengan sifat khusus yang tidak sepenuhnya tunduk pada mekanisme keuangan negara. Ia menegaskan, seluruh aktivitas pembiayaan, penjaminan, dan asuransi yang dijalankan LPEI berlandaskan hukum perdata dan hukum dagang, bukan hukum publik sebagaimana yang berlaku pada lembaga keuangan negara.
Keuangan LPEI: Mandiri dan Tidak Masuk dalam APBN
Dr. Dian menjelaskan, Pasal 46 UU No. 2 Tahun 2009 menjadi dasar penting yang menegaskan bahwa dalam pelaksanaannya, LPEI tunduk pada hukum perdata dan dagang, bukan pada UU Keuangan Negara maupun mekanisme APBN. Artinya, seluruh pengelolaan keuangan dan kekayaan LPEI dilakukan untuk kegiatan usaha, bukan untuk kegiatan pemerintahan.
Meski modal awal LPEI bersumber dari kekayaan negara yang dipisahkan, pengelolaannya berada di tangan dewan direktur, bukan di bawah kendali langsung Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara. Dengan demikian, keuangan LPEI tergolong sebagai keuangan lembaga, bukan bagian dari “uang negara” dalam konteks fiskal.
“Jika dana LPEI termasuk dana APBN,” ujar Dr. Dian, “seharusnya seluruh mekanisme pembiayaan mengikuti prinsip pengelolaan risiko APBN. Faktanya, hal itu tidak diatur dalam UU No. 2 Tahun 2009.”
Piutang LPEI: Piutang Lembaga, Bukan Piutang Negara
Salah satu poin penting dalam kajian Dr. Dian adalah status piutang LPEI. Ia menegaskan bahwa piutang yang muncul dari aktivitas pembiayaan dan penjaminan merupakan piutang lembaga, bukan piutang negara.
Pasal 32–35 UU No. 2 Tahun 2009 memberi wewenang kepada LPEI untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih secara mandiri, berbeda dengan mekanisme penyelesaian piutang negara yang harus melibatkan PUPN.
Dr. Dian juga mengaitkan hal ini dengan Putusan MK No. 77/PUU-IX/2011, yang menyatakan bahwa piutang bank BUMN bukan piutang negara karena kekayaan bank sudah dipisahkan dari kekayaan negara. Prinsip serupa, katanya, berlaku pula bagi LPEI.
Risiko Bisnis Tak Sama dengan Kerugian Negara
Dr. Dian turut membahas Pasal 19 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2009, yang sering disalahpahami sebagai dasar “kerugian negara” di LPEI. Menurutnya, pasal itu sebenarnya berbicara tentang penambahan modal saat modal lembaga menurun di bawah batas minimum, bukan soal kerugian akibat perbuatan melawan hukum.
Kerugian yang muncul dari aktivitas bisnis LPEI bersifat kerugian lembaga, dan penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme hukum perdata. Negara tidak menanggung kerugian tersebut lewat APBN, kecuali jika ada penugasan khusus dari pemerintah.
Audit dan Prinsip Kerugian Negara
Dalam pandangannya, Dr. Dian juga menyoroti pentingnya prinsip kerugian negara yang nyata dan pasti sesuai Pasal 1 angka 22 UU No. 1 Tahun 2004. Ia mengkritisi praktik penggunaan istilah “sekurang-kurangnya” atau “setidak-tidaknya sebesar” dalam audit kerugian, karena dianggap tidak sejalan dengan ketentuan hukum positif.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berwenang menetapkan dan mengaudit kerugian negara secara sah, sedangkan BPKP berfungsi sebagai pengawasan internal tanpa kewenangan penetapan.














