JAKARTA,Cobisnis.com – Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir meminta perusahaan pelat merah yang bergantung pada bahan baku impor dan BUMN dengan porsi utang luar negeri (dalam dolar AS) yang besar agar mengoptimalkan pembelian dolar AS dalam jumlah besar dalam waktu singkat.
Adapun imbauan ini diserukan kepada BUMN seperti Pertamina, PLN, BUMN Farmasi, hingga BUMN Pertambangan yakni MIND ID.
Lebih lanjut, Erick mengatakan BUMN juga perlu melakukan peninjauan ulang terhadap biaya operasional belanja modal, utang yang akan jatuh tempo, hingga rencana aksi korporasi.
“Serta (BUMN bisa) melakukan kajian sensitivitas terhadap pembayaran pokok dan atau bunga utang dalam dolar yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis, 18 April.
Permintaan ini disampaikan demi meminimalisir dampak gejolak ekonomi dan geopolitik akibat konflik Iran-Israel yang memanas belakangan ini. Terutama terkait dengan pelemahan rupiah hingga ke level Rp16.000 hingga Rp16.300.
Erick juga meminta BUMN yang memiliki utang luar negeri atau berencana menerbitkan instrumen dalam dolar AS agar mengkaji opsi hedging untuk meminimalisasi dampak fluktuasi kurs.
“Seluruh BUMN diharapkan dapat waspada dan awas dengan memantau situasi saat ini, mengingat kemungkinan terjadi kenaikan tingkat suku bunga dalam waktu dekat,” kata Erick.
BUMN Pertambangan Diminta Memanfaatkan Tren Kenaikan Harga Minyak
Selain itu, Erick bilang BUMN yang berorientasi pasar ekspor harus bisa memanfaatkan tren kenaikan harga minyak saat ini.
“Seperti Pertambangan MIND ID, perkebunan PTPN bisa memanfaatkan tren kenaikan harga ini untuk memitigasi tergerusnya neraca perdagangan,” tuturnya.
Dengan berbagai kondisi yang terjadi dan pelemahan rupiah menyentuh di level sekitar Rp16.000 hingga Rp16.300 per dolar AS dalam beberapa hari terakhir. Alhasil, Erick memproyeksi nilai tukar rupiah bisa mencapai lebih dari Rp16.500 per dolar AS apabila tensi geopolitik tidak menurun.
Erick menilai suituasi ekonomi dan geopolitik tersebut sudah dan akan berdampak kepada Indonesia melalui Foreign Outflow dana investasi yang akan memicu melemahnya rupiah dan naiknya imbal hasil obligasi. Kemudian juga semakin mahalnya biaya impor bahan baku dan pangan karena gangguan rantai pasok.
“Dan akan menggerus neraca perdagangan Indonesia,” tutur Erick.