JAKARTA, Cobisnis.com – Minat masyarakat terhadap investasi terus meningkat, seiring kemudahan akses aplikasi keuangan dan maraknya edukasi di media sosial.
Namun, di balik tren positif tersebut, banyak investor pemula justru terjebak risiko yang sering dianggap sepele sejak awal masuk pasar.
Salah satu risiko terbesar adalah kesalahan memahami tujuan investasi. Banyak pemula masuk pasar dengan niat jangka panjang, tetapi bereaksi layaknya trader harian.
Ketika harga aset turun, kepanikan muncul karena ekspektasi keuntungan cepat tidak tercapai. Kondisi ini sering berujung pada keputusan jual rugi.
Risiko berikutnya adalah fenomena ikut-ikutan atau fear of missing out (FOMO). Investor membeli aset hanya karena ramai dibicarakan, bukan karena analisis.
Saat sentimen berubah, harga jatuh, dan investor pemula kerap menjadi pihak terakhir yang keluar dari pasar dengan kerugian signifikan.
Risiko likuiditas juga kerap diabaikan. Tidak semua instrumen investasi mudah dijual kembali saat dibutuhkan, terutama pada kondisi pasar tidak stabil.
Selain itu, rasa percaya diri berlebihan setelah meraih keuntungan awal sering membuat investor menempatkan dana terlalu besar tanpa manajemen risiko.
Faktor psikologis turut berperan besar. Rasa takut, serakah, dan panik sering kali lebih menentukan hasil investasi dibandingkan kualitas aset itu sendiri.
Kurangnya diversifikasi juga menjadi masalah umum. Menaruh seluruh dana pada satu instrumen membuat portofolio rentan terhadap guncangan pasar.
Dalam konteks ekonomi, peningkatan jumlah investor ritel tanpa pemahaman risiko berpotensi memperbesar volatilitas pasar keuangan.
Oleh karena itu, pemahaman risiko menjadi fondasi penting agar pertumbuhan investor baru dapat berjalan sehat dan berkelanjutan.














