NUSA DUA, Cobisnis.com – Kebijakan tarif timbal balik (reciprocal tariff) yang diberlakukan Amerika Serikat pada tahun 2025 dinilai berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Namun, dampaknya terhadap perdagangan minyak sawit dunia diperkirakan akan relatif terbatas.
Hal tersebut disampaikan oleh Oscar Tjakra, Executive Director Rabobank’s Global Rabo Research Food & Agribusiness Department, yang menilai bahwa volume impor minyak sawit Amerika Serikat masih sangat kecil dibandingkan total perdagangan global.
“Dampak tarif ini terhadap pasar sawit tidak akan signifikan karena porsi impor sawit AS hanya sebagian kecil dari total perdagangan dunia,” ujar Oscar di gelaran IPOC 2025 yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kamis (13/11/2025).
Meski demikian, perbedaan tarif antara Malaysia dan Indonesia berpotensi menciptakan pergeseran jangka pendek dalam aliran perdagangan, terutama meningkatkan ekspor produk sawit olahan Malaysia seperti RBD olein dan stearin ke pasar Amerika Serikat.
Oscar menjelaskan, permintaan minyak nabati di Amerika Serikat masih menunjukkan tren positif, terutama untuk produk pangan kemasan dan industri makanan olahan.
Meski kebijakan tarif membuat harga sejumlah komoditas naik, minyak sawit tetap menjadi pilihan kompetitif dan ekonomis dibandingkan minyak nabati lain seperti minyak kedelai dan bunga matahari.
Secara global, permintaan minyak sawit terus meningkat seiring dengan pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan pola konsumsi masyarakat yang semakin bergeser ke arah produk siap saji dan kebutuhan rumah tangga.
Namun, Oscar menggarisbawahi bahwa perlambatan pertumbuhan ekspor sawit dalam beberapa tahun terakhir lebih disebabkan oleh meningkatnya kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia.
Kebijakan ini menyerap sebagian besar produksi sawit untuk kebutuhan energi domestik, mengurangi pasokan yang tersedia di pasar global.
“Implementasi program B50 pada 2028 akan semakin menekan ketersediaan sawit di pasar ekspor,” jelas Oscar.
Di sisi lain, Amerika Serikat dan Brasil juga tengah memperluas kebijakan biodiesel mereka, yang mendorong pergeseran penggunaan minyak kedelai dari pangan ke energi. Kondisi ini justru memperkuat posisi minyak sawit di pasar global karena pasokan minyak nabati alternatif menjadi terbatas.
Namun, Oscar juga mengingatkan bahwa jika kebijakan energi di negara-negara tersebut dilonggarkan, ketersediaan minyak nabati alternatif dapat meningkat kembali dan mengurangi defisit pasokan sawit global.
Meski dihadapkan pada dinamika kebijakan dan fluktuasi pasar, Oscar menilai prospek jangka panjang minyak sawit tetap positif.
“Permintaan global terhadap minyak sawit akan tetap stabil, bahkan cenderung meningkat. Keunggulan harga, daya saing pasokan, dan kebutuhan pangan rumah tangga membuat sawit tetap menjadi pilihan utama di pasar dunia,” tegasnya.
Dengan ketahanan permintaan tersebut, minyak sawit diproyeksikan tetap memegang peran sentral dalam industri pangan dan energi global, meski dunia tengah menghadapi perubahan arah perdagangan internasional dan kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat.














