Cobisnis.com – Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan keberatan yang diajukan PT Grab Teknologi Indonesia d/h Solusi Transportasi Indonesia (Grab Indonesia) atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dinilai merupakan momentum yang baik untuk melihat kembali prinsip-prinsip hukum bisnis Indonesia di tengah perkembangan model ekonomi digital.
Bisnis, apalagi yang berbasis teknologi digital, sudah berkembang sedemikian rupa, sehingga bukan tidak mungkin kaidah-kaidah hukum bisnis lama tertinggal dalam menyikapi perkembangan dalam lanskap bisnis baru tersebut. “Putusan PN ini bukan tentang siapa yang menang tapi bagaimana sistem dan tatanan hukum bisnis kita dapat mewadahi perkembangan bisnis dalam suatu kepastian hukum.
Teknologi membawa disrupsi, termasuk disrupsi dalam konfigurasi hukum. Bukan hukumnya salah, tapi harus dicari relevansi baru,” kata pakar teknologi yang juga Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi di Jakarta beberap hari lalu. Menurut Heru, tujuan dari suatu tatanan hukum ekonomi adalah kepastian hukum yang membuat semua pelaku ekonomi mendapat insentif melakukan bisnis dan akhirnya menciptakan kesejahteraan rakyat secara luas. Sebaliknya, tatanan hukum ekonomi yang gagal memberi kepastian hukum menjadi disinsentif pelaku ekonomi memulai dan menjalankan usaha dan akhirnya, penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan yang seharusnya berlangsung malah urung terjadi.
“Kita lihat penilaian KPPU mengenai integrasi vertikal dan diskriminasi dinyatakan tidak terbukti oleh Pengadilan Negeri. Dari situ kita belajar bahwa membangun struktur usaha yang efisien bukanlah integrasi vertikal, dan kompetisi internal yang memotivasi mitra untuk berkinerja baik bukanlah diskriminasi. Keduanya malah bisa membangun daya saing usaha yang lebih baik yang ujung-ujungnya menciptakan kebaikan kepada semua pihak, seperti pendapatan yang lebih baik mitra karena pelanggan puas, penciptaan lapangan kerja yang lebih luas, hingga kontribusi bagi perekonomian daerah dan nasional,” papar Heru lagi lagi.
Heru menambahkan, kerjasama Grab dan TPI bukan merupakan persaingan usaha yang tidak sehat karena tidak ada kerugian di sisi masyarakat pengguna bisnis online, baik dari segi layanan maupun tarif. Kerja sama ini, tambahnya, adalah bagian internal perusahaan dan tidak berdampak pada kompetisi di pasar sejenis dan konsumen layanan transportasi online. Sebelumnya, pada 3 Juli, KPPU menyatakan bersalah PT Grab Teknologi Indonesia d/h Solusi Transportasi Indonesia (Grab Indonesia) dan PT Teknologi Pengangkutan Indonesia (TPI) atas dugaan integrasi vertikal dan diskriminasi terhadap mitra pengemudi mandirinya. Dikatakan KPPU, Grab telah memberikan order prioritas kepada mitra pengemudi GrabCar yang berada di bawah naungan TPI. Akibatnya, Grab dinilai telah melakukan persaingan usaha tidak sehat terhadap mitra mandiri selain TPI.
Menjawab tuduhan tersebut, Grab dapat membuktikan bahwa sistem pemesanan bersifat adil dan murni berdasarkan kinerja dan prestasi. Grab memiliki berbagai program manfaat untuk memberikan penghargaan kepada semua mitra pengemudi yang memenuhi syarat dan mendapat penilaian tinggi dari konsumen, hal ini dirancang secara khusus agar kinerja baik pengemudi dapat berlangsung secara konsisten.
“Relevansi hukum yang berujung pada kepastian hukum sangat dibutuhkan di tengah bisnis yang tengah mengalami disrupsi dahsyat. Ini waktunya menguji kembali asumsi-asumsi dan prinsip-prinsip dalam hukum ekonomi, termasuk hukum persaingan usaha, sehingga lebih relevan dan tidak malah menjadi penghambat kemajuan ekonomi, termasuk juga ekonomi digital,” tambah mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) ini. Heru berharap putusan PN Jakarta Selatan ini akan mengembalikan kepastian hukum di Indonesia dan memperbaiki sentimen investor terhadap prospek berusaha di Indonesia, apalagi ketika dunia mengalami perlambatan ekonomi akibat Covid-19.