JAKARTA, Cobisnis.com – Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung menyampaikan kritik tajam atas desakan Amerika Serikat agar negaranya menanam investasi besar hingga US$350 miliar di berbagai sektor strategis. Ia menilai langkah tersebut berpotensi mengulang krisis keuangan seperti yang terjadi pada 1997.
Lee menekankan, tanpa adanya jaminan kuat seperti perjanjian currency swap antara kedua negara, arus dana besar ke luar negeri bisa melemahkan stabilitas keuangan nasional. Menurutnya, pengeluaran investasi masif tanpa pengaman akan menimbulkan kerentanan serius terhadap perekonomian domestik.
Konteks kritik ini muncul ketika Washington mendorong sekutu-sekutunya memperkuat investasi demi menopang rantai pasok global, terutama menghadapi persaingan teknologi dan industri dengan China. Korsel termasuk mitra penting AS di sektor semikonduktor, energi, dan kendaraan listrik.
Namun, Presiden Lee mengingatkan bahwa keputusan ekonomi sebesar itu tidak bisa dilepaskan dari potensi dampak jangka panjang. Ia menyoroti risiko terhadap cadangan devisa Korea Selatan dan nilai tukar won yang dapat melemah bila modal keluar dalam jumlah masif.
Lee menilai pengalaman pahit krisis Asia 1997 harus menjadi pelajaran penting. Saat itu, Korea Selatan harus menerima bailout dari IMF karena keterbatasan cadangan devisa dan besarnya utang luar negeri. Ia tidak ingin kondisi serupa terulang akibat kebijakan investasi eksternal yang terlalu besar.
Pemerintah Korea Selatan kini menghadapi dilema strategis. Di satu sisi, investasi besar di AS dapat memperkuat hubungan diplomatik dan ekonomi bilateral. Namun di sisi lain, pengeluaran dana raksasa tanpa proteksi finansial justru bisa menimbulkan tekanan bagi perekonomian domestik.
Para analis menilai, jika benar terealisasi, US$350 miliar yang diminta AS setara dengan hampir 20% dari PDB Korea Selatan. Angka ini dianggap terlalu besar untuk dilepaskan tanpa imbal balik yang jelas dalam bentuk stabilisasi mata uang atau dukungan fiskal.
Kritik Lee juga menyoroti ketidakseimbangan dalam hubungan ekonomi global, di mana negara maju menekan sekutu-sekutunya untuk menanggung beban investasi demi kepentingan geopolitik. Hal ini menimbulkan perdebatan mengenai keadilan dan keberlanjutan kebijakan ekonomi internasional.
Masyarakat Korea Selatan ikut menaruh perhatian besar pada isu ini. Stabilitas harga, lapangan kerja, dan prospek pertumbuhan jangka panjang dipandang akan terdampak bila pemerintah tidak hati-hati dalam mengambil keputusan.
Pernyataan Lee menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah Korsel akan bersikap lebih kritis dalam merespons tuntutan ekonomi dari mitra globalnya. Fokus utama adalah menjaga kedaulatan ekonomi, stabilitas moneter, dan keberlanjutan pembangunan nasional.














