JAKARTA, COBISNIS.COM – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa penurunan pungutan ekspor (PE) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2024 akan mengurangi biaya perusahaan eksportir sawit, termasuk Crude Palm Oil (CPO), hingga 3,2%.
Kementerian Keuangan sebelumnya merilis PMK Nomor 62 Tahun 2024, yang mengatur tarif layanan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Salah satu poin utama dalam peraturan ini adalah penurunan pungutan ekspor untuk produk minyak sawit yang selama ini dihitung progresif berdasarkan harga CPO global.
Dalam PMK tersebut, produk sawit dan turunannya terbagi dalam lima kelompok. Untuk CPO yang masuk dalam kelompok II ekspor, pungutan ekspor yang dikenakan sebesar 7,5% dari harga referensi CPO.
“Kami masih menghitung dampaknya, karena akan tergantung pada posisi harga CPO. Namun, perkiraan penghematan biaya sekitar 3,2%,” kata Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono, kepada Kontan pada Senin (23/09).
Eddy menjelaskan bahwa tarif pungutan ekspor yang baru ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing harga CPO Indonesia di pasar global. “Seharusnya kebijakan ini bisa mendorong peningkatan ekspor sawit dari Indonesia,” tambahnya.
Namun, Eddy mengakui bahwa dia belum bisa memperkirakan seberapa besar penurunan pungutan ekspor ini akan berdampak pada volume ekspor CPO secara keseluruhan. “Kita tidak bisa memastikan, karena India, pasar ekspor terbesar kedua setelah China, telah menaikkan tarif impor mereka,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, turut berkomentar. Ia menyatakan bahwa tarif pungutan yang lebih sederhana dan rendah dapat mendorong peningkatan ekspor. “Harga CPO Indonesia bisa lebih kompetitif, apalagi di tengah penurunan permintaan global saat ini. Ini bisa meningkatkan daya saing CPO kita dibandingkan dengan produk dari Malaysia atau Thailand,” katanya pada Senin (23/09).
Ketua Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, menambahkan bahwa tujuan dari PMK 62 Tahun 2024 adalah agar pungutan ekspor sawit Indonesia sebanding dengan pungutan di Malaysia. “Ini diterapkan agar pungutan ekspor kita setara dengan Malaysia sehingga kita bisa bersaing lebih baik di pasar internasional,” jelas Tungkot.
Tungkot juga menambahkan bahwa perubahan pungutan dari specific levy menjadi persentase harga referensi CPO akan memudahkan pelaksanaan kebijakan ini. “Dengan pungutan berbasis persentase dari harga referensi, pelaksanaannya akan lebih sederhana,” tambahnya.
Ketika ditanya mengenai pengaruh aturan baru ini terhadap peningkatan ekspor, Tungkot mengatakan ada faktor-faktor lain yang perlu diperhatikan. “Harapannya ekspor akan meningkat, tetapi kita juga perlu melihat kondisi ekonomi global, harga minyak nabati pesaing seperti soybean oil, serta kebijakan domestik seperti DMO dan mandatori biodiesel di masa depan,” tutupnya.