JAKARTA, Cobisnis.com – Penyelesaian kasus merek dagang di Indonesia belum didukung aturan hukum yang jelas. Tantangan saat ini khususnya di UU 20/2016 atau UU Merk, yaitu masih minimnya jenis kerugian yang bisa dijadikan sebagai tuntutan. Ini membuat sulit bagi pemilik merek menghitung besar kerugiannya di pengadilan. “Belum ada rincian kriteria-kriteria. Sebaiknya UU 20 ini diamandemen lalu dibikin detail hal apa saja yang bisa dituntut. Jadi Ketua MA bisa beri surat edaran tentang petunjuk teknis mengenai kerugian apa saja yang dituntut,” ujar Akademisi dan juga Hakim Agung MA, Ibrahim, dalam webinar Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan/MIAP di Jakarta (30/5/2021).
Dia sendiri pesimistis pasal 1365 KUH Perdata bisa dijadikan dasar dalam menyelesaikan persoalan ganti rugi sengketa merek.”Saya ragu karena ini lebih diarahkan ke ranah properti yang tangible fisik. Setelah diperhatikan pada UU Merek, saya tidak melihat tipe kerugian yang dipertimbangkan dalam gugatan,” tambahnya.
Menurutnya harapan atau ekspektasi pemilik merek sulit untuk tercapai di pengadilan. Karena belum bisa ditentukan variabel apa saja yang bisa dipertimbangkan. “Jadi diperlukan sekarang adalah arahan dari Dirjen HAKI sebagai pedoman dalam menghitung dan menentukan kerugian. Sehingga pemilik merek terdaftar bisa memperoleh haknya yang dituntut. Lalu hakim akan kabulkan tuntutannya, kalau itu memang bisa dibuktikan,” tegasnya.
Ibrahim juga mengingatkan untuk melihat best practice di beberapa negara yang sudah berlakukan pedoman untuk menghitung kerugian.
“Pengalaman dari kasus Honda dan perusahaan motor China menggunakan merek yang sama yaitu Karisma dan Krisma. Perintah pengadilan hentikan produksi motor tersebut. Tapi apakah itu cukup? Tujuan hentikan pelanggaran itu penting untuk meminimalisir kerugian,” katanya.
Sementara Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Albertus Usada menegaskan, inti hukum merek adalah sebagai pelindung merek terdaftar dengan prinsip first to file. Maka dalam UU No 20 Tahun 2016, ditentukan kaidah hukum pemilik merek terdaftar, dapat mengajukan gugatan ke pihak lain yang menggunakan merek yang sama dengan pokoknya untuk barang dan jasa sejenis. “Bisa gugatan ganti rugi dan penghentian penggunaan merek,” ungkap Albertus dalam kesempatan yang sama.
Akan tetapi dalam praktik atau fakta persidangan, gugatan itu berkemungkinan menjadi prematur, mengingat akan berpotensi adanya tumpang tindih keputusan nantinya. Sebut saja misalnya gugatan dikabulkan namun permohonan merek juga dikabulkan. Pada akhirnya tidak akan ada yang menang di dalam perkara tersebut.
Untuk itu, menurut Albertus, harus jelas posisi pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek untuk barang dan jasa sejenis, dan atas perbuatan apa pihak kedua gunakan merek tanpa ijin dari merek terdaftar. “Saya kira dengan acuan pada MIAP, kita susun strategi isu hukum, juga gugatan ganti rugi,” jelas Albertus.