JAKARTA, Cobisnis.com – Perkembangan bisnis yang kita pesat mendorong para pelaku usaha untuk memiliki merek dagang yang dikenal baik oleh konsumen. Sebabnya, reputasi positif yang melekat dalam merek yang terkenal sudah pasti menjadi tolak ukur keberlanjutan bisnis ke depan.
Reputasi itu bisa berupa kualitas, keunikan, atau keunggulan teknis yang membedakan suatu merek terkenal dengan merek-merek lain. Tak heran jika merek terkenal dapat menjadi kekayaan komersial yang sangat berharga dan disebut sebagai harta yang tidak berwujud (intangible assets) bagi suatu perusahaan.
“Masyarakat membeli produk/jasa tertentu karena berkualitas tinggi atau aman dikonsumsi dikarenakan reputasi dari merek tersebut. Reputasi yang didukung daya pembeda itu turut menciptakan basis pelanggan setia. Pelaku usaha meyakini merek dagang terkenal itu mampu menjalin ikatan antara pemilik merek dan konsumen, yang turut berperan sebagai silent salesman (pemasar senyap),” jelas Dr Ibrahim, Hakim Agung Mahkamah Agung.
Kendati demikian, Dr Ibrahim mengingatkan beberapa aspek penting dalam membangun sebuah merek, terutama merek terkenal. Dr Ibrahim menyebutkan, umunya terdapat 2 jenis merek yang digunakan dalam suatu barang/produk, yaitu merek utama (main brand) dan merek sekunder/tambahan (secondary brand). Sebab, pelaku usaha biasanya memilih suatu kata yang lebih unik untuk merek utama dan suatu kata yang lebih generik untuk merek sekunder.
“Merek utama pada umumnya menggunakan suatu kata buatan, tidak memiliki arti seperti Kodak, Pepsi yang unik dan telah memiliki citra yang baik, sehingga jenis barang yang berada di bawah merek itu langsung menimbulkan sentuhan keakraban (familiar) dan mudah dikenali oleh konsumen,” jelas Dr. Ibrahim.
“Sedangkan merek sekunder biasa digunakan oleh pelaku usaha untuk memperkenalkan variasi baru dari merek utama. Contohnya Biore Guard atau Samsung Duos, dan umumnya menggunakan kata-kata generik ataupun deskriptif yang umum digunakan sehari-hari,” tambahnya.
Contoh secondary trademark lainnya yang dapat ditemui sehari-hari adalah berbagai produk kecantikan yang seringkali ditambahkan kata yang sangat deskriptif seperti ‘Acne’ atau ‘Whitening’. Tak jarang pula ditemui secondary trademark yang dikaitkan dengan khasiat produk seperti Pepsi Zero / Cola Zero, yang mendeskripsikan bahwa produk tersebut adalah zero calorie (tanpa kalori).
Berdasarkan hal tersebut, Dr Ibrahim menegaskan, pelaku usaha harus sangat berhati-hati jika ada pihak lain yang berusaha meniru merek utama mereka. Sebab, lanjutnya, ketika muncul produk/jasa lain yang menggunakan merek yang memiliki persamaan pada keseluruhan dan/atau persamaan pada pokoknya terhadap merek utama, hal ini dapat merusak reputasi dan kesetiaan pelanggan.
“Pihak yang meniru merek utama itu menggunakan tanpa seizin pemilik merek asli dengan tujuan membonceng keterkenalan merek yang asli. Bahkan pemilik merek baru itu mengklaim bahwa kualitas dan gengsi produk/jasa buatannya setara pula. Akibatnya konsumen setia pun terkecoh, karena mengira produk/jasa buatan produsen berbeda itu berasal dari, atau terkait dengan, pemilik merek terkenal yang dipercaya selama ini,” ungkap Dr. Ibrahim.
Dr. Ibrahim lebih lanjut mengungkapkan, dalam praktiknya, pemilik merek terkenal seringkali menerapkan dilution doctrine atau doktrin dilusi merek demi melindungi mereknya. Dilusi merek sendiri merupakan prinsip dalam hukum merek yang mengizinkan pemilik merek terkenal untuk melarang pihak lain menggunakan merek mereka dengan cara-cara yang dapat mengancam keunikan merek dan mengurangi kekuatan merek tersebut, sehingga dapat mengakibatkan kebingungan konsumen.
Padahal, jika kondisi diatas dikaitkan dengan doktrin dilusi merek (trademark dilution doctrine), maka hal tersebut dapat berpotensi melemahkan (dilute) esensi keunikan dan perbedaan dari merek terkenal tersebut, sekaligus dapat merugikan pemilik merek selaku pemegang hak yang sah. “Kerugian bisa berupa hilangnya daya saing produk bermerek di pasar, kebingungan konsumen, serta kerugian komersial lainnya,” pungkas Dr. Ibrahim.
Namun demikian, Dr. Justisiari P. Kusumah, Executive Director MIAP (Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan) menilai, konsep dilusi merek tidak dapat serta merta diterapkan untuk merek sekunder (secondary brand).
Merek sekunder ini biasanya dikenal juga sebagai nama varian (variant name) atau merek dagang yang merupakan suatu kalimat atau istilah yang deskriptif dan bukan merupakan elemen utama dari kesatuan merek tersebut, serta bertujuan untuk menjelaskan fungsi dari produk. Kalimat/istilah deskriptif mengandung kata-kata yang umum digunakan sehari-hari (generic words) oleh konsumen dan pelaku usaha.
Meskipun tidak ada regulasi khusus tentang dilusi merek, menurut Dr. Ibrahim, sejatinya Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek) sudah mengatur penggunaan istilah generik dan kalimat deskriptif dalam merek dagang yang terdaftar.
Pasal 22 dari UU Merek menyatakan, sebagai berikut: “Terhadap merek terdaftar yang kemudian menjadi nama generik, setiap orang dapat mengajukan Permohonan Merek dengan menggunakan nama generik dimaksud, dengan tambahan kata lain sepanjang ada unsur pembeda.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Justisiari, suatu nama atau merek produk atau jasa yang mengandung suatu kata generik yang sama hanya dapat dilindungi jika secara keseluruhan nama produk atau merek tersebut memiliki unsur esensial yang telah memiliki daya pembeda terkait dengan produk tersebut. Contohnya, suatu ilustrasi kasus terkait penggunaan nama “ABC TOP QUALITY” dan “AMANI QUALITY” sebagai suatu merek produk sepatu. Yang dimiliki oleh dua pihak berbeda.
Justisiari menjelaskan, kalimat QUALITY dalam Bahasa Inggris bermakna “KUALITAS”, yaitu suatu kata yang sangat deskriptif (merupakan suatu penjelasan dari produk) dan sudah umum, sehingga tidak dapat dimonopoli oleh pihak manapun.
“Selain itu, kata “QUALITY” bukanlah merek utama (Main Brand) dari kedua produk itu, melainkan hanya merek sekunder (Secondary Brand) atau kata tambahan yang tidak dominan. Sehingga salah satu pihak pemilik merek di atas tidak seharusnya menggugat pihak lainnya dengan menerapkan konsep trademark dilution, dengan alasan penggunaan kata QUALITY dinilai telah mengecoh konsumen dan mengurangi keunikan dan menyebabkan kerugian bagi si penggugat,” jelas Justisiari.
Pendapat serupa disampaikan Guru Besar Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Dr. Rahmi Jened yang menjelaskan bawah setiap klaim atas generic term (istilah generik) untuk memperoleh hak eksklusif Merek harus ditolak, karena pengaruhnya akan memberikan hak monopoli tidak hanya pada tanda yang digunakan sebagai Merek, tetapi juga pada produk. Dan hal ini membuat tidak berdaya pesaing untuk dapat secara efektif memberi nama kepada produk yang diusahakan untuk dijualnya.
Resiko terjadinya praktek monopoli dan persaingan yang tidak sehat itu tentunya bukan dampak yang dinanti oleh para pihak yang bersengketa maupun pihak manapun. Akan tetapi hal ini menjadi sangat potensial terjadi jika konsep dilusi ini disalahgunakan dan diterapkan dalam merek sekunder.
Oleh karena itu, jika hal ini terjadi di Indonesia, putusan yang seadil-adilnya diharapkan terjadi setelah mempertimbangkan berbagai argumen dan contoh kasus dan ilustrasi yang dipaparkan.
Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) adalah adalah organisasi yang terdiri dan dibentuk oleh pemilik Hak Kekayaan Intelektual, khususnya merek yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap tindakan pemalsuan di Indonesia.
Organisasi yang dibentuk 2003 ini memilik objektif, salah satunya, meningkatkan kegiatan edukasi dan sosialisasi mengenai bahaya dan kerugian atas peredaran barang atau produk palsu.
Saat ini MIAP mempunyai anggota sebagai berikut: Shell Indonesia, Louis Vuitton Moet Hennessey (LVMH), Nestle Indonesia, Aqua Danone, Kalbe Group, Paragon Technology & Innovation, Enesis Indonesia, Unilever Indonesia dan Astra Honda Motor.