JAKARTA,Cobisnis.com – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan bahwa hampir seluruh negara di dunia sepakat bahwa gejolak perekonomian pada sepanjang 2023 bakal lebih berat dibandingkan dengan 2022.
Menurut dia, indikasi itu tercermin dari fenomena harga pangan dan energi dunia yang kemungkinan besar bakal sulit turun dalam waktu dekat.
“Momentum perekonomian dunia memang dimoderasi karena kenaikan inflasi global yang sangat tinggi,” ujarnya melalui saluran virtual saat hadir di Forum 100 CEO di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat, 2 Desember.
Menkeu menjelaskan, inflasi yang tinggi itu mendorong bank sentral banyak negara melakukan kebijakan pengetatan likuiditas hingga menaikan suku bunga acuan.
“Bank sentral memang sengaja menaikan suku bunga untuk menahan sisi permintaan sehingga inflasi tidak running wild,” tuturnya
Lebih lanjut, bendahara negara mengungkapkan jika pihaknya telah mendapat informasi dari bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), sebagai otoritas moneter paling berpengaruh di dunia, bahwa kondisi ini akan berlangsung setengah tahun ke depan atau mungkin di sepanjang 2023.
“Interest rate yang tinggi, menurut beberapa pejabat The Fed, akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Ini berarti dampak ekonomi kepada negara-negara mungkin pada sepanjang 2023,” tegas dia.
Menkeu menambahkan, ekses suku bunga tinggi juga dipastikan bisa sampai ke Indonesia dan memberi beberapa pengaruh ke perekonomian, seperti terjadi capital outflow oleh investor nonresident (asing) yang saat ini masih terus berlangsung.
“Ini membuat mau tidak mau pemerintah menaikan yield SBN. Sementara itu Bank Indonesia juga terpaksa menaikan suku bunga untuk mencegah outflow yang lebih dalam,” ucapnya.
Untuk diketahui, pemburukan situasi perekonomian tahun depan sudah banyak diprediksi sejumlah pihak. Salah satu yang cukup concern adalah lembaga keuangan multilateral International Monetary Fund (IMF) yang menyebut jika pertumbuhan PDB dunia 2023 hanya akan sebesar 2,7 persen dari awalnya 2,9 persen.
Angka itu lebih rendah jika dibandingkan dengan 2022 yang diyakini ekonomi global bisa tumbuh di level 3,2 persen.