JAKARTA, Cobisnis.com – S&P Global memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat pada paruh kedua 2025. Laporan ini menyoroti berkurangnya dampak stimulus fiskal dan kebijakan tarif perdagangan yang sebelumnya sempat menopang aktivitas ekonomi global.
Laju pertumbuhan yang tinggi pada awal tahun disebut tidak akan berlanjut. Hal ini disebabkan momentum konsumsi masyarakat global mulai surut, sementara investasi perusahaan tertekan oleh biaya modal yang masih relatif mahal. Kondisi tersebut membuat prospek ekonomi lebih hati-hati ke depan.
Inflasi inti di kelompok negara maju juga masih menjadi tantangan. S&P Global mencatat tekanan harga pada sektor barang tetap tinggi, meskipun harga energi dan pangan sempat mengalami penurunan. Hal ini membuat bank sentral belum bisa melonggarkan kebijakan moneter secara agresif.
Suku bunga acuan di Amerika Serikat yang turun ke kisaran 4,00–4,25% belum sepenuhnya memberi dorongan besar. Walau langkah The Fed ini memicu melemahnya dolar AS dan kenaikan harga emas, pasar tetap dibayangi ketidakpastian arah ekonomi global dalam jangka menengah.
Risiko geopolitik turut memperburuk outlook ekonomi. Fragmentasi rantai pasok, tensi dagang, hingga konflik regional membuat arus perdagangan internasional tidak seefisien sebelumnya. Kondisi ini menahan laju ekspor dan mengurangi potensi pertumbuhan di banyak negara.
Bagi negara berkembang, pelemahan global bisa berdampak pada penurunan permintaan ekspor. Indonesia, misalnya, harus mewaspadai potensi berkurangnya order komoditas utama seperti batu bara, CPO, dan nikel, yang menjadi penopang devisa negara.
Arus modal asing juga rentan berubah arah. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa setiap kali terjadi gejolak global, pasar keuangan domestik biasanya mengalami tekanan dengan keluarnya investasi portofolio. Hal ini dapat memicu pelemahan nilai tukar rupiah.
Selain itu, perlambatan global berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi domestik. Konsumsi dalam negeri memang kuat, tetapi sektor manufaktur dan perdagangan luar negeri tetap sangat bergantung pada stabilitas permintaan internasional.
Pemerintah di berbagai negara, termasuk Indonesia, dituntut memperkuat daya tahan ekonomi. Langkah yang mungkin ditempuh antara lain mendorong diversifikasi pasar ekspor, mempercepat hilirisasi industri, serta memperkuat insentif fiskal untuk sektor strategis.
S&P Global menekankan pentingnya kebijakan adaptif dalam menghadapi perubahan global. Jika risiko geopolitik dan inflasi bisa dikendalikan, peluang pemulihan tetap terbuka pada 2026. Namun tanpa strategi mitigasi, pelemahan ekonomi global bisa berlangsung lebih panjang.














