JAKARTA, Cobisnis.com – Virus Covid-19 tidak dapat diobati. Dan belum ada vaksinnya. Cara satu-satunya untuk selamat, jangan tertular.
Pemerintah di berbagai negara memberlakukan karantina wilayah atau lockdown. Gunanya untuk memutus mata rantai penularan.Indonesia memberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Masyarakat harus menghindari keramaian dan membatasi interaksi sosial. Termasuk keramaian di sentra ekonomi seperti kantor, restoran, coffee shops, hotel, pasar dan lainnya. Oleh karena itu, lockdown dan PSBB mengakibatkan ekonomi turun.Dalam menangani pandemi, seolah-olah ada trade-off antara pengendalian kesehatan dengan pengendalian ekonomi.
Di satu sisi, pembatasan sosial menyebabkan jumlah terinfeksi turun, tetapi pertumbuhan ekonomi juga turun. Di lain sisi, tanpa pembatasan sosial jumlah terinfeksi dan angka kematian meningkat, tetapi pertumbuhan ekonomi lebih baik. Mana yang harus diprioritaskan? Ekonomi atau nyawa?Sejak awal, pemerintah kelihatan bimbang apa yang harus dilakukan. Lockdown, PSBB, lockdown mini, atau bahkan dibebaskan sama sekali agar tercapai herd immunity? Kebimbangan ini membawa konsekuensi serius.
Pengendalian pandemi sepertinya ajang uji coba saja, alias trial and error. Gugus tugas beralih dari satu institusi ke institusi lainnya.Klaim sukses pengendalian pandemi tidak ada pijakannya.
Karena jumlah terinfeksi rendah bisa disebabkan jumlah tes rendah. Dan faktanya memang jumlah tes Covid-19 di Indonesia jauh lebih rendah dari negara maju. Di lain pihak, jumlah terinfeksi terus meningkat. Menunjukkan pengendalian pandemi sejauh ini tidak atau belum berhasil.Pada umumnya negara berkembang seperti Indonesia mempunyai keterbatasan ruang fiskal (keuangan negara).
Sehingga pilihan kebijakan pengendalian pandemi lebih berat pada ekonomi, dengan relaksasi kesehatan. Di negara maju yang mempunyai ruang gerak fiskal lebih besar, kebijakan pandemi umumnya lebih berat pada kesehatan. Dengan lockdown, membatasi interaksi ekonomi dan sosial.
Sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi lebih buruk.Pertanyannya, apakah dalam pengendalian pandemi pemerintah selalu dihadapi pada dua pilihan yang saling bertentangan? Kesehatan versus ekonomi?Ada tiga alternatif kebijakan dalam pengendalian pandemi. Pertama, tidak ada intervensi pembatasan sosial sama sekali. Artinya masyarakat bebas melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
Hasil dari kebijakan ini sangat buruk bagi Kesehatan dan juga ekonomi. Angka terinfeksi dan angka kematian tinggi. Kontraksi ekonomi juga tinggi.Kedua, pemerintah memberlakukan kebijakan sebaliknya dari yang pertama. Pemerintah memberlakukan karantina wilayah atau lockdown secara ketat. Tujuannya memutus mata rantai penyebaran virus.
Hasilnya sangat baik untuk kesehatan. Kasus terinfeksi dan angka kematian turun tajam. Tetapi ekonomi terkontraksi lebih tajam.Ketiga, pemerintah menjalankan kebijakan test dan karantina. Masyarakat terinfeksi di karantina dan tidak boleh melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. Tentu saja untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Semua biaya test dan karantina seharusnya ditanggung pemerintah termasuk tunjangan pendapatan serta bantuan sosial.
Sedangkan masyarakat yang sehat bebas beraktivitas ekonomi maupun sosial. Karena pihak terinfeksi dikarantina maka pihak sehat tidak khawatir tertular. Tidak ada pembatasan sosial bagi yang sehat. Hasil kebijakan ini sangat luar biasa.
Angka terinfeksi dan kematian Covid-19 turun tajam, dan pandemi jauh lebih cepat selesai. Sedangkan penurunan ekonomi terjaga, jauh lebih rendah dari semua alternatif kebijakan.Vietnam dan Selandia Baru sepertinya mengikuti kebijakan yang terakhir. Lockdown ketat dari dunia luar.
Pemisahan sejak dini terinfeksi dari yang sehat.Contoh kasus Denmark dan Swedia sangat menarik untuk jadi pembelajaran. Kedua negara tetangga Skandinavia ini memilih kebijakan pengendalian pandemi yang sangat berbeda.Denmark memberlakukan lockdown secara ketat.
Sedangkan Swedia menjalankan kebijakan sangat longgar, menuju terjadinya ‘herd immunity’. Menurut Dhaval Joshi, chief European investment strategist di BCA Research Inc., seperti dikutip dari Bloomberg, kebijakan Swedia ternyata tidak berhasil menahan penurunan ekonomi. Indeks keyakinan konsumen Swedia turun lebih tajam dari Denmark.Selain itu, jumlah terinfeksi di Swedia jauh lebih tinggi dari Denmark.
Angka terinfeksi Denmark terkendali dan mulai turun pada awal April 2020. Puncaknya, kurang dari 60 terinfeksi per 1 juta penduduk.Sedangkan angka terinfeksi di Swedia meningkat terus hingga akhir Juni 2020. Mencapai lebih dari 110 terinfeksi per 1 juta penduduk. Sebagai konsekuensi, tingkat kematian di Swedia juga jauh lebih tinggi dari Denmark.Kenaikan tingkat pengangguran ternyata hampir sama di kedua negara selama pandemi.
Swedia tidak berhasil menekan tingkat pengangguran seperti yang diperkirakan, meskipun memberlakukan relaksasi pembatasan sosial.Ada beberapa negara atau teritori terlalu cepat membuka relaksasi pembatasan sosial. Antara lain Jakarta yang mendapat tekanan dari pemerintah pusat. Studi dari universitas John Hopkins, AS memperlihatkan relaksasi kebijakan lockdown terlalu dini mempunyai dampak buruk terhadap ekonomi. Bukan meningkatkan ekonomi seperti yang dikira.
Karena relaksasi membuat jumlah terinfeksi meningkat lagi. Sedangkan jumlah terinfeksi mempunyai korelasi negatif dengan pertumbuhan belanja konsumen. Yaitu, semakin tinggi jumlah terinfeksi, semakin rendah pertumbuhan belanja konsumen. Artinya, relaksasi pembatasan sosial memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena konsumen dengan sendirinya akan membatasi aktivitas ekonominya karena mereka khawatir tertular.
Tingkat terinfeksi tinggi juga akan menghambat investasi. Investor akan bereaksi negatif kalau tingkat infeksi dibiarkan tinggi.Indonesia memilih relaksasi pembatasan sosial di atas lockdown, karantina wilayah atau PSBB sekalipun. Misalnya, kebijakan dibolehkan mudik atau pulang kampung yang mengundang kritik dari masyarakat termasuk tenaga kerja kesehatan.Kebijakan PSBB Jakarta sebelumnya cukup berhasil menekan jumlah terinfeksi.
Ketika PSBB diperlonggar, jumlah terinfeksi meningkat tajam. Lockdown mini akan membuat masyarakat tambah bingung dan membatasi aktivitas sosialnya lebih ketat. Sehingga kebijakan ini akan membuat pertumbuhan ekonomi lebih buruk.