JAKARTA, Cobisnis.com – Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Sirait mengaku sudah dua kali berkirim surat ke presiden. Kali ini dalam bentuk surat terbuka terkait bahaya Bisphenol A.
Menurut Arist Merdeka Sirait, alasan kembali mengirim surat kepada Presiden Jokowi, lantaran hingga kini belum ada tanggapan sama sekali. Padahal, isi surat tersebut sangat penting, menyangkut kesehatan anak, bayi, balita dan janin pada ibu hamil.
“Kita sudah dua kali mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo tapi hingga kini belum ada tanggapan. Diduga surat itu masih tertahan di Setneg. Entah oknum siapa yang bermain sehingga surat tersebut belum juga sampai, ” tandas Arist Sirait.
Dalam pemaparan di depan para wartawan dan ibu – ibu, dalam diskusi, peringatan Hari Gizi dan Pangan pada Kamis (26/1) lalu di Aula Komnas PA, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Arist Sirait menyebut inti surat terbuka yang dikirimkan tersebut.
Yaitu agar Presiden menyetujui Revisi Kedua PerkaBPOM No 31 tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan supaya segera disahkan oleh BPOM.
“Manfaat disahkan Revisi Kedua PerkaBPOM No 31 tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan adalah melindungi kesehatan usia rentan yaitu bayi, balita dan janin pada ibu hamil yang belum memiliki sistem imunitas, ” tutur Arist Merdeka Sirait mencuplik surat terbuka untuk Presiden.
Dalam diskusi tersebut, Arist juga memaparkan perjuangan Komnas PA dalam menangani kasus yang menimpa anak – anak Indonesia. Hanya saja dalam memperjuangkan melindungi anak – anak dari paparan BPA masih berlanjut. Karena harus bekerja sama dengan pihak lain utamanya dengan BPOM sebagai regulator peredaran obat dan makanan.
Masih menurutnya, Revisi PerkaBPOM No 31 tahun 2018 Tentang Label Pangan Olahan tersebut, mengatur agar kemasan atau wadah makanan dan minuman yang mengandung Bisphenol A diberi label peringatan konsumen.
Pemberian label pada kemasan itu merupakan suatu bentuk fundamental untuk menyelamatkan hak kesehatan anak.
“Ketika diabaikan, itu salah satu bentuk kekerasan sama dengan kekerasan yang saat ini masih menjadi isu nasional, di mana Indonesia masih dalam darurat kekerasan anak, ” tandas Sirait.
Sementara Direktur PAUD Institute, Lia Latifa menjelaskan tiap tahun jumlah anak-anak yang berkebutuhan khusus makin banyak.
“Dulu anak – anak usia 3 tahun atau 4 tahun yang perlu terapi khusus. Sekarang usia mereka yang memerlukan terapi meningkat. Ada yang usia sembilan tahun, bahkan lebih, ” papar Lia Latifa yang sehari – hari berhadapan dengan anak – anak usia dini.
Lia Latifa menjelaskan bahwa anak – anak yang mengalami kebutuhan khusus terjadi karena banyak faktor. Selain faktor genetika juga ada faktor eksternal salah satunya bisa jadi senyawa berbahaya semacam Bisphenol A.
Senada dengan Lia Latifa, Dr Catherine Tjahjadi dari PDUI dan IDI memaparkan bagaimana senyawa Bisphenol A atau BPA dapat masuk ke dalam tubuh manusia. Menurutnya, jika kemasan yang mengandung Bisphenol A atau BPA terkena goresan atau panas maka akan terjadi migrasi dari kemasan ke dalam makanan atau minuman.
Sementara, menurut Arzeti Bilbina, anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB menjelaskan secara gamblang bahwa masalah gizi buruk tersebar sedikitnya di 12.183 desa. Yang hidup di kota memang rata-rata sudah terbebas dari gizi buruk. Ada juga yang masih kekurangan gizi. Tapi ditambah lagi paparan zat Bisphenol A yang berasal dari kemasan makanan.
“Di kota besar selain ada yang menderita gizi buruk ditambah lagi paparan Bisphenol A dari kemasan polikarbonat, ” ungkap Arzeti.***