JAKARTA, Cobisnis.com – Aplikasi video local OTT sedang mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pangsa pasar mereka mulai terbentuk dalam waktu yang relative singkat. Adapun semenjak pandemic masyarakat lebih menyukai OTT video streaming services dibanding layanan TV kabel.
Berdasarkan hasil survei Inventure-Alvara, menunjukkan 74,2% responden lebih menyukai layanan OTT video dibanding layanan TV kabel, dimana tren konten original lokal semakin deepening terbukti dari hasil riset yang mengatakan bahwa 81,4% responden tertarik menonton konten original lokal serta 80% responden tertarik berlangganan OTT lokal yang lebih banyak menyediakan konten lokal.
Selama dua tahun terakhir terjadi disrupsi yang kuat sekali di sektor media. Terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat terhadap media. Semenjak pandemi tumbuh media-media baru untuk menikmati konten, yakni layanan Over The Top (OTT) Streaming Video.
Sebelum ada OTT video, penonton menikmati layanan visual lewat bioskop dan TV. Perubahan preferensi menikmati layanan konten video lewat media baru itu, yang menjadi landasan terjadinya pergeseran perilaku konsumen, yang diikuti disrupsi. Untuk menggerakan industri media dibutuhkan konten-konten. Maka penyedia konten menjadi penting.
Penyedia konten dibagi menjadi dua: lokal dan bukan lokal. Pada tahap itulah, pemain seperti Netflix, Disney, VIU, Wee TV, dan Video berada.
Beberapa waktu terakhir muncul kecenderungan masyarakat mulai menyukai konten yang bernuansa lokal. Hal ini terindikasi dari animo masyarakat yang tinggi terhadap konten lokal terbaru: Layangan Putus.
Menurut Celerina Judisari, CEO PT Mahaka Global Media, konten seperti Layangan Putus menyadarkan kita bahwa konten lokal cukup bisa menggaet penonton. Hal ini disampaikan dalam paparannya dalam acara Indonesia Industry Outlook 2022.
Meski demikian, kata Celerina, sebenarnya tidak ada shifting yang begitu besar tentang selera masyarakat. Ia merujuk data survei beberapa lembaga bahwa 60% penonton bioskop kita memang menyukai konten lokal. Sebesar 60%, sebenarnya, penonton kita menikmati film yang bernuansa komedi, percintaan, horor, dan action. “Jadi sebenarnya penonton lokal film-film kita tinggi sekali.”, jelas Celerina.
Menurut Celerina, kebangkitan konten lokal sehingga ia (kembali) menarik hati masyarakat karena dikemas dengan cara yang beda. Di antaranya adalah kemasan yang baru lewat layar OTT. “Secara selera masih sama, tapi treatmentnya berbeda.”, terang Celerina.
Celerina pun memaparkan ada satu waktu atau periode ketika beberapa Production House menganalisis dan mempelajari market. Salah satu hasil outputnya adalah market menyukai produk yang treatmentnya seperti Korean Style: dari segi angle, suasana dan kualitas. “Hal itu dilakukan untuk menggaet penonton yang sebenarnya sudah ada di sana.” jelasnya.
Meskipun era digital mempengaruhi lanskap media, namun pemain-pemainnya tetap sama. Ini termasuk juga di dalamnya Production House. Biasanya mereka mempunyai resources yang sangat besar untuk meriset pasar. “Pemain yang berhasil mempelajari pasar bioskop, juga mempelajari pasar OTT. Sehingga bisa lebih cepat mempelajari pasar”, jelas Celerina dalam sesi Indonesia Industry Outlook 2022. Dari hasil riset itu munculah produksi konten seperti Layangan Putus.
“Media mulai moving, di sana kita lihat ada MNC +, Emtek, kenapa dia jadi OTT yang kuat, karena secara basic sudah kuat. Netflix kenapa kuat karena dia sudah punya library yang bervariatif.”, kata Celerina.
Meski demikian, viralnya konten lokal seperti layangan putus adalah hasil dari kompleksitas yang luar biasa. Baik dari segi strategi dan promosi. “Gak bisa single promotion yang sederhana. Bahwa sekarang strategi harus di treatment, misal antara satu daerah dengan daerah yang lain.” jelas Celerina menambahkan.
“Semuanya ini penuh kompleksitas, ini dipengaruhi dari tingkat promosi dan (sampai) dapur,” kata Celerina.
Layangan Putus berasal dari konten yang sebelumnya sudah terkenal. Sudah banyak demand, secara sederhana cerita itu sudah mempunyai fanbase. Untuk survive di era media sekarang, orang-orang harus mendapatkan IP yang kuat demi mendapatkan traffic penonton yang tinggi.
Terkait konten lokal, jika bisa disimpulkan, meskipun terjadi megashift namun pada dasarnya selera masyarakat masih sama. Meski demikian, juga dibutuhkan peran pemerintah di industri media, perlu adanya sensor untuk konten-konten yang bertanggungjawab.
Optimisme Konten Lokal
Celerina sangat optimis bahwa konten lokal masih akan berjaya. Menurutnya mengapa kemarin konten K-Drama bisa sukses, karena ada kevakuman di industri kita, ada satu waktu ketika kita melakukan pembacaan atas pasar terlebih dahulu. Selama ini pemerintah pun membantu para creator lokal untuk membuat konten yang baik. Menurut Celerina, asalkan konten mengikuti rumusan penonton industri media kita akan terus survive.
Dari sana diperlukan perbaikan kualitas. “Misal, bukan horor yang cemen-cemen, tapi yang ada kualitasnya. Kaya dulu Pengabdi Setan menaikan level dari film horor”, kata Celerina.
“Bagaimana untuk bisa bersaing dengan Korea? Kita banyak belajar, dari angle, yang penting kita mempunyai jadi diri. Bahwa kita harus bisa merumuskan, dengan style korea dan kemudian membuat konten yang berkarakter kita sendiri. Demand tinggi, taste tahu, tapi produksinya seperti mandeg kaya talent (contohnya). Resources. Butuh kesatuan dari hulu ke hilir, seluruh stakeholder”, pungkas Celerina.