Perusahaan asal China tersebut berencana membangun pabrik semen di Aceh Selatan dengan kapasitas 6 juta ton per tahun dan investasi sebesar Rp 10 triliun.
Direktur Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Kemenperin, Putu Nadi Astuti, mengkritik bahwa Pemkab Aceh Selatan dan Kobexindo Cement seharusnya berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kemenperin atau kementerian terkait lainnya.
Menurut Putu, karena adanya kebijakan moratorium investasi industri semen, MoU yang ditandatangani tidak bisa dilanjutkan ke proses perizinan berusaha lebih lanjut, termasuk izin lingkungan. Hal ini disebabkan sistem Online Single Submission (OSS) terkunci akibat kebijakan moratorium tersebut.
Kemenperin menegaskan bahwa pembangunan pabrik semen di Aceh tidak sejalan dengan kebijakan moratorium investasi industri semen yang hanya dikecualikan untuk Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara.
Jika pembangunan industri semen baru terjadi di Aceh, hal ini akan berdampak pada produsen semen eksisting, terutama yang berada di wilayah Sumatra, seperti penurunan utilisasi produksi.
Berdasarkan data Asosiasi Industri Semen Indonesia (ASI), kapasitas terpasang pabrik semen di Indonesia mencapai 119 juta ton, tetapi hanya 55% yang terserap di pasar domestik. Pada 2023, penjualan semen nasional berada di level 65,5 juta ton, menciptakan selisih 54,4 juta ton antara penjualan dan produksi.
Pulau Sumatera, termasuk Aceh, merupakan wilayah operasional tiga produsen semen BUMN, yaitu PT Semen Padang dengan kapasitas produksi 11 juta ton per tahun, PT Semen Baturaja dengan kapasitas 3,85 juta ton per tahun, dan PT Solusi Bangun Andalas dengan kapasitas 1,65 juta ton per tahun.
Untuk mengatasi isu ini, Kemenperin akan berkoordinasi dan berkonsolidasi dengan pihak terkait seperti Kementerian Investasi/BKPM, Pemkab Aceh Selatan, dan Asosiasi Semen Indonesia dalam upaya menjalankan kebijakan moratorium investasi di industri semen.