NUSA DUA, Cobisnis.com – Dinamika perdagangan global yang kian kompleks menuntut negara eksportir, termasuk Indonesia, untuk lebih strategis dan adaptif dalam menjaga posisi di pasar minyak nabati dunia.
Hal ini disampaikan oleh Sathia Varqa, Managing Editor dan Analis Fastmarkets Palm Oil Analytics, yang menilai bahwa kompetisi global minyak nabati kini semakin ketat, terutama dengan meningkatnya produksi dan ekspansi minyak kedelai.
Menurut Sathia, minyak sawit masih menjadi minyak nabati paling banyak dikonsumsi di dunia, diikuti oleh minyak kedelai, kanola, dan bunga matahari. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, minyak kedelai menunjukkan pertumbuhan pesat dan mulai menjadi kompetitor utama bagi minyak sawit.
“Pertumbuhan ini terutama didorong oleh ekspansi besar-besaran perkebunan kedelai di Amerika Serikat dan Brasil yang kini menyuplai sekitar 70 persen kebutuhan kedelai global,” ungkap Sathia di gelaran IPOC 2025 yang diselenggarakan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kamis (13/11/2025).
Sementara itu, luas area tanam kelapa sawit Indonesia cenderung stagnan, yang berpotensi mengurangi daya saing jangka panjang di pasar internasional.
Sathia menjelaskan, ada tiga dinamika utama yang akan memengaruhi perdagangan komoditas Indonesia pada 2026, yakni rezim perdagangan internasional, transisi energi global, dan arah kebijakan domestik Indonesia sendiri.
Dari sisi rezim perdagangan internasional, Indonesia kini menghadapi tekanan ganda yakni tuntutan keberlanjutan dari pasar Eropa serta hambatan tarif dari Amerika Serikat. Dua faktor ini telah menyebabkan penurunan volume ekspor minyak sawit ke kedua kawasan tersebut.
Selain itu, regulasi global seperti Global Biofuel Mandates dan Renewable Energy Directive (RED) Uni Eropa juga akan menentukan arah permintaan biodiesel berbasis sawit dan menuntut Indonesia menyesuaikan standar produksinya.
Di tengah tekanan eksternal, kebijakan domestik Indonesia juga menjadi faktor penting yang akan menentukan masa depan industri sawit.
“Meski produksi sawit Indonesia pada Januari–Agustus 2025 tumbuh 4,21 persen dibanding tahun sebelumnya, keberlanjutan tren positif ini sangat bergantung pada kebijakan domestik, terutama terkait tata kelola lahan dan dukungan pemerintah terhadap sektor hulu-hilir,” ujar Sathia.
Menurut data Fastmarkets Palm Oil Analytics, produksi sawit global pada 2025–2026 diperkirakan mencapai 83,22 juta ton, meningkat 2,83 juta ton dibanding tahun sebelumnya. Kondisi ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat posisinya sebagai kontributor utama pasokan minyak nabati dunia.
Namun, Sathia mengingatkan, pengambilan keputusan yang bijaksana akan menjadi faktor penentu keberhasilan Indonesia dalam mengoptimalkan momentum pasar global.
“Indonesia harus menyeimbangkan antara kepentingan perdagangan, keberlanjutan, dan produktivitas agar tetap kompetitif di tengah perubahan arah pasar dunia,” tegasnya.
Dengan tantangan geopolitik, perubahan kebijakan energi global, dan persaingan bahan nabati lain yang kian sengit, kebijakan yang tepat dan responsif akan menjadi kunci menjaga dominasi Indonesia di pasar minyak nabati internasional.














