JAKARTA, COBISNIS.COM – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hampir 7 persen dalam sesi pertama perdagangan pada Selasa (19/3), menyebabkan Bursa Efek Indonesia (BEI) memberlakukan penghentian sementara perdagangan saham.
Direktur Utama BEI, Iman Rachman, menyatakan bahwa penurunan tajam ini dipicu oleh sentimen global, termasuk kebijakan ekonomi dan perang tarif yang dijalankan Presiden AS Donald Trump, yang membuat investor lebih berhati-hati dalam menentukan langkah investasi mereka.
Iman menjelaskan bahwa tren penurunan indeks sebenarnya telah terjadi sejak pekan sebelumnya akibat ketidakpastian global. Ia menambahkan bahwa sebagian besar investor asing bereaksi terhadap pembaruan kebijakan Trump, yang menjadi salah satu faktor utama penurunan IHSG hari itu.
Namun, Ekonom Wijayanto Samirin menilai bahwa pelemahan IHSG lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik. Setidaknya ada lima sentimen yang mempengaruhi pergerakan IHSG, mulai dari kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang buruk hingga kebijakan ekonomi pemerintah yang dinilai tidak realistis dan kurang memiliki pendekatan teknokratis yang jelas.
Wijayanto juga menyoroti berbagai isu dalam negeri yang turut melemahkan IHSG, termasuk skandal korupsi di sejumlah BUMN yang merusak kepercayaan publik serta pasar. Selain itu, rencana revisi Undang-Undang TNI yang mendapat kritik keras dari masyarakat turut memberikan tekanan terhadap pasar saham.
Menurutnya, muncul kekhawatiran bahwa perubahan dalam regulasi tersebut dapat menimbulkan protes besar. Selain itu, penurunan IHSG juga dipengaruhi oleh ketidakpastian mengenai peringkat kredit Indonesia dari lembaga seperti Fitch, Moody’s, dan S&P, yang diperkirakan akan diumumkan dalam beberapa bulan mendatang.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menilai bahwa kondisi yang terjadi di pasar saham mencerminkan keadaan perekonomian Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Banyak investor yang tidak lagi yakin terhadap aset mereka di Indonesia, sehingga memilih untuk menjual saham dalam jumlah besar.
Ronny menambahkan bahwa kondisi ini juga didukung oleh data historis yang menunjukkan bahwa sebagian besar aksi jual berasal dari investor domestik. Indikator ekonomi lainnya seperti daya beli yang lesu serta penerimaan pajak yang menurun turut memperkuat tanda-tanda perlambatan ekonomi.
Penerimaan negara dari pajak dalam dua bulan pertama tahun ini hanya mencapai Rp187,8 triliun atau turun sekitar 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu, defisit fiskal sudah mencapai Rp31,2 triliun hingga akhir Februari 2025.
Kondisi ini semakin memperburuk kepercayaan investor terhadap Indonesia sebagai tempat investasi yang menguntungkan. Ronny memperingatkan bahwa pelarian modal yang terus berlanjut dapat menghambat perputaran uang dalam ekonomi, berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan.
Selain faktor ekonomi, ia juga menyoroti kekhawatiran investor terkait pembentukan holding BUMN media Danantara dan revisi UU TNI. Menurutnya, intervensi negara dalam sektor bisnis, terutama dengan keterlibatan militer, bisa menimbulkan distorsi pasar dan ketidakpastian bagi investor.
Sementara itu, Research Analyst Infovesta Kapital Advisori, Arjun Ajwani, menambahkan bahwa isu mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani juga memicu gejolak pasar. Selain itu, kekhawatiran perang dagang serta arus keluar dana asing semakin memperburuk sentimen investor terhadap pasar saham Indonesia.
Secara keseluruhan, kombinasi antara ketidakpastian global, kondisi fiskal yang memburuk, serta berbagai kebijakan domestik yang kontroversial menyebabkan IHSG mengalami tekanan signifikan. Jika situasi ini terus berlanjut, stabilitas ekonomi dan kepercayaan investor terhadap Indonesia dapat semakin tergerus.














