JAKARTA, COBISNIS.COM – Bank Dunia melaporkan bahwa harga beras di Indonesia terus menjadi yang tertinggi di kawasan ASEAN.
Bahkan, data menunjukkan bahwa harga beras di dalam negeri mencapai 20% lebih tinggi dibandingkan harga beras di pasar global.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran karena harga yang tinggi tidak sebanding dengan pendapatan petani lokal.
Menurut Eliza Mardian, pengamat pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), tingginya harga beras di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor utama adalah penyempitan lahan pertanian yang semakin signifikan.
Eliza menjelaskan bahwa sebagian besar petani di Indonesia, hampir 62%, hanya memiliki lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar. Lahan yang sempit tersebut, meskipun dioptimalkan, sulit mencapai skala ekonomi yang efisien.
Kondisi ini menyebabkan biaya per satuan produksi menjadi lebih mahal. Eliza menambahkan bahwa biaya produksi yang tinggi juga disebabkan oleh rendahnya adopsi teknologi pertanian di Indonesia.
Ia menuturkan bahwa sebagian besar petani adalah penduduk dengan tingkat ekonomi rendah, sehingga sulit bagi mereka untuk berinvestasi dalam peralatan pertanian modern.
Eliza juga menjelaskan bahwa penghasilan dari hasil panen hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup beberapa bulan saja, sehingga investasi dalam teknologi pertanian yang canggih tidak menjadi prioritas bagi para petani.
Situasi ini semakin memperparah kondisi pertanian di Indonesia, di mana penggunaan teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan efisiensi produksi.
Selain itu, Eliza menyebutkan bahwa biaya tenaga kerja menjadi komponen terbesar dalam biaya produksi pertanian, yaitu mencapai 47%.
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya tenaga kerja yang bersedia bekerja di sektor pertanian, sehingga membuat upah tenaga kerja menjadi lebih tinggi.
Ia menyarankan perlunya mekanisasi untuk menekan biaya tenaga kerja.
Eliza juga menjelaskan bahwa meskipun Indonesia memiliki angkatan kerja yang besar, sebagian besar dari mereka enggan bekerja di sektor pertanian.
Oleh karena itu, mekanisasi mulai dari proses penanaman, pemanenan, hingga pasca panen dinilai sangat dibutuhkan untuk menekan biaya produksi.
Di sisi lain, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk, menilai bahwa tingginya harga beras di Indonesia juga disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Pembatasan impor, kenaikan biaya produksi, serta pengetatan tata niaga melalui kebijakan non-tarif menjadi beberapa faktor yang berkontribusi terhadap mahalnya harga beras.
Namun, Carolyn menekankan bahwa meskipun harga beras tinggi, pendapatan petani tidak ikut meningkat. Berdasarkan Survei Pertanian Terpadu Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil hanya mencapai kurang dari USD 1 per hari, atau sekitar Rp 15.199. Bahkan, dalam satu tahun, pendapatan petani hanya mencapai sekitar USD 341 atau Rp 5,2 juta.
Selain itu, survei BPS juga mengungkap bahwa petani tanaman pangan, khususnya beras, memiliki pendapatan yang jauh lebih rendah dibandingkan petani di sektor perkebunan atau hortikultura. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsumen harus membayar mahal untuk beras, petani sebagai produsen tetap mendapatkan keuntungan yang sangat rendah.
Carolyn menilai bahwa petani mengalami keuntungan yang minim, sementara konsumen harus membayar harga beras yang tinggi.