JAKARTA, Cobisnis.com – Dua penembakan massal yang terjadi berjauhan secara geografis, namun berdekatan secara waktu, mengguncang komunitas dan memperlihatkan betapa rapuhnya politik global saat ini. Sabtu sore yang dingin di Rhode Island berubah menjadi mimpi buruk ketika pesan darurat dari Brown University muncul di ponsel mahasiswa, memperingatkan adanya penembak aktif dan meminta semua orang untuk berlindung atau melarikan diri.
Beberapa jam kemudian, horor kembali terjadi di belahan dunia lain. Dua pria bersenjata melepaskan tembakan ke arah perayaan Hanukkah di Bondi Beach, Sydney, sebuah lokasi ikonik di Australia. Di Brown University, dua mahasiswa tewas dan sembilan lainnya terluka. Sementara itu di Bondi Beach, sedikitnya 15 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya masih dirawat di rumah sakit.
Secara kasat mata, kedua tragedi ini tidak saling berkaitan. Namun keduanya menampilkan pola yang kini terasa tragis dan berulang: kepanikan massal, rekaman ponsel yang memperlihatkan orang-orang berlarian menyelamatkan diri, serta komunitas yang hancur oleh kekerasan publik yang datang secara tiba-tiba. Di Rhode Island, mahasiswa tengah bersiap menghadapi ujian akhir. Di Sydney, korban tewas saat menikmati sore hangat di tepi pantai.
Keduanya menjadi simbol dari “kutukan modern”, di mana kekerasan publik bisa meletus kapan saja dan di mana saja. Rasa takut itu kini menjadi pengalaman kolektif, dirasakan oleh siapa pun yang pernah berada di tengah kerumunan atau acara besar.
Kesamaan lain dari dua tragedi ini adalah bagaimana keduanya segera terseret ke dalam pusaran politik yang terpolarisasi. Di Sydney, penembakan saat perayaan Hanukkah menegaskan meningkatnya kekhawatiran global akan antisemitisme. Acara yang seharusnya penuh kegembiraan berubah menjadi tragedi berdarah yang menargetkan komunitas Yahudi. Sejumlah organisasi Yahudi internasional menyebut serangan tersebut sebagai pengingat pahit bahwa banyak orang Yahudi merasa tidak lagi aman di ruang publik.
Serangan di Bondi Beach juga memicu ketegangan politik internasional. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengecam keras aksi tersebut, sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuding pemerintah Australia dan sekutunya kurang tegas melawan antisemitisme. Di sisi lain, para kritikus Israel menolak anggapan bahwa kritik terhadap kebijakan Israel identik dengan kebencian terhadap Yahudi.
Sementara itu di Amerika Serikat, penembakan di Brown University menambah daftar panjang lokasi yang kini identik dengan teror senjata api. Tragedi ini kembali memicu perdebatan sengit soal kepemilikan senjata, retorika politik, dan tanggung jawab para pemimpin. Politisi dari kedua kubu saling menyalahkan, sementara publik kembali dihadapkan pada rutinitas pascatragedi yang terasa stagnan: doa, pernyataan simpati, dan perdebatan kebijakan yang tak kunjung selesai.
Di tengah perbedaan konteks dan politik, dua kota di dua sisi dunia itu dipersatukan oleh duka. Australia mengenang korban, termasuk seorang rabi dan seorang anak perempuan berusia 10 tahun. Di Rhode Island, mahasiswa dan warga berkumpul dalam upacara menyalakan menorah, sebagai simbol harapan dan solidaritas.
“Jika kita bisa berkumpul dan menyalakan sedikit cahaya malam ini, tidak ada hal yang lebih baik yang bisa kita lakukan sebagai sebuah komunitas,” ujar Wali Kota Providence, Brett Smiley.














