JAKARTA, Cobisnis.com – Produksi penny terakhir telah resmi dihentikan di US Mint Philadelphia pada Rabu, setelah biaya pembuatannya melebihi nilai koin tersebut dan penggunaannya makin terbatas. Meski penny masih menjadi alat pembayaran sah, bank dan pedagang sudah mulai melaporkan kelangkaan.
Namun, faktor yang membuat pemerintah menghentikan penny justru lebih kuat terjadi pada koin nickel. Jika penny membutuhkan biaya hampir 5 sen untuk membuat koin bernilai 1 sen, kerugian pada nickel lebih besar biaya produksi satu nickel mencapai hampir 14 sen, atau rugi sekitar 9 sen per koin.
Nickel terbuat dari 75% tembaga dan 25% nikel, sementara penny berbahan dasar seng dengan lapisan tembaga, menjadikannya 97,5% seng dan hanya 2,5% tembaga. Harga tembaga dan nikel kini sekitar dua kali lipat dibandingkan 2016, sehingga biaya material untuk nickel meningkat tajam.
US Mint dan pemasoknya, Artazn, sedang meneliti cara menekan biaya pembuatan nickel menjadi kurang dari 5 sen, kata Mark Weller dari Americans for Common Cents, kelompok pro-penny yang sebagian besar didanai Artazn. Artazn memproduksi blank koin yang digunakan US Mint. Upaya tersebut dapat selesai dalam setahun, dengan “nickel baru” yang tampilannya identik dengan yang sekarang.
Namun, mahalnya biaya bukan satu-satunya masalah. Seperti penny, penggunaan nickel kini semakin menurun karena masyarakat jarang memakai koin, bahkan saat melakukan pembayaran tunai. Negara lain seperti Selandia Baru dan Australia sudah lebih dulu menghentikan peredaran koin kecil mereka sejak awal 2000-an.
David Smith, profesor ekonomi di Pepperdine University, menilai menurunnya penggunaan uang tunai mengurangi urgensi untuk menghapus nickel. Ia mengakui ada rasa nostalgia pada koin tersebut yang membuat proses eliminasi lebih lambat, meski ia memperkirakan hal itu akan terjadi dalam 15–20 tahun ke depan.
Weller menambahkan bahwa peralihan ke ekonomi tanpa uang tunai berpotensi merugikan masyarakat berpendapatan rendah, karena biaya transaksi kartu dikenakan kepada pedagang dan diteruskan kepada konsumen.
Kini, dengan kelangkaan penny, sejumlah pedagang mempertanyakan apakah mereka boleh membulatkan total belanja ke 5 sen terdekat. Penelitian Federal Reserve Bank of Richmond menunjukkan bahwa pembulatan ke 5 sen akan merugikan konsumen AS sekitar US$6 juta per tahun, sementara pembulatan ke 10 sen menyebabkan “pajak pembulatan” sebesar US$56 juta meski rata-rata hanya 42 sen per rumah tangga.
Mengubah komposisi nickel pun belum tentu menghilangkan masalah biaya, karena 2,8 sen dari biaya produksi setiap koin berasal dari administrasi dan distribusi, bukan bahan baku. Baik Weller maupun Smith tidak melihat nickel akan segera dihapus. US Mint sendiri telah merugi untuk setiap penny dan nickel sejak 2006, namun baru menghentikan penny tahun ini.
“Saya sudah menerima pertanyaan soal masa depan penny selama 30–35 tahun,” ujar Weller. “Jadi saya tidak melihat akan ada perubahan cepat dalam waktu dekat.”














