JAKARTA, COBISNIS.COM – Indonesia dan negara berkembang lainnya memiliki peluang besar untuk mendapatkan aliran modal asing sebagai dampak dari pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan oleh beberapa negara besar. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyebutkan bahwa sejumlah negara telah mengambil langkah untuk menurunkan suku bunga acuan guna merespons perlambatan inflasi. Di antara negara tersebut adalah Amerika Serikat (AS), yang melakukan pelonggaran kebijakan karena inflasi mendekati target 2 persen year-on-year (yoy), sementara perekonomian tetap tumbuh lambat dengan angka pengangguran yang tinggi.
Bank Sentral AS, The Fed, telah mengurangi suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin pada September lalu. The Fed juga memberikan sinyal untuk melanjutkan pelonggaran kebijakan hingga akhir tahun. Selain itu, Bank Sentral Eropa (ECB) turut menurunkan suku bunga acuannya pada September 2024, diikuti oleh Bank Sentral China (PBoC), yang mengambil langkah serupa akibat rendahnya inflasi dan lemahnya permintaan domestik.
Dalam konferensi pers KSSK di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Sri Mulyani menyampaikan bahwa kondisi ini memberikan dampak positif, dengan menurunnya ketidakpastian di pasar keuangan global dan meningkatnya aliran modal asing ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Bank Indonesia (BI) sendiri telah mengurangi suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin pada September 2024, menjadi 6 persen, dan mempertahankannya hingga Oktober.
Perkembangan ini mendorong penguatan nilai tukar rupiah pada akhir September sebesar 2,08 persen secara bulanan, menjadi Rp 15.140 per dollar AS. Apresiasi rupiah ini lebih tinggi dibandingkan mata uang seperti Won Korea, Peso Filipina, dan Rupee India. Menurut Sri Mulyani, perbaikan kinerja rupiah didukung oleh komitmen BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar, imbal hasil aset keuangan yang menarik, serta fundamental ekonomi Indonesia yang kuat, termasuk inflasi yang rendah.
Namun demikian, pemerintah tetap mewaspadai risiko ketidakpastian yang diperkirakan akan meningkat pada Oktober 2024, terutama akibat eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah. Risiko tersebut terlihat dari pelemahan nilai tukar rupiah sebesar 2,82 persen pada periode 1-15 Oktober. Meski begitu, dibandingkan dengan akhir Desember 2023, depresiasi rupiah hanya sebesar 1,17 persen year-to-date (ytd), yang masih lebih baik dibandingkan mata uang seperti Peso Filipina, Dollar Taiwan, dan Won Korea.