JAKARTA, Cobisnis.com – Bank sentral China memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan pinjaman atau Loan Prime Rate (LPR) pada September 2025. LPR tenor satu tahun tetap di level 3,0 persen, sementara tenor lima tahun berada di 3,5 persen. Keputusan ini sejalan dengan ekspektasi pasar yang sebelumnya memprediksi tidak ada perubahan kebijakan moneter bulan ini.
Langkah ini mencerminkan kehati-hatian otoritas moneter China di tengah kondisi ekonomi domestik yang masih tertekan. Pertumbuhan produksi industri dan penjualan ritel menunjukkan pelemahan, sementara sektor properti belum pulih sepenuhnya. Dengan kondisi tersebut, penurunan suku bunga dianggap berisiko memperlemah stabilitas mata uang yuan.
LPR merupakan acuan utama yang digunakan bank-bank komersial dalam menetapkan bunga kredit untuk perusahaan maupun rumah tangga. Suku bunga tenor satu tahun biasanya dipakai untuk pinjaman jangka pendek, sedangkan tenor lima tahun banyak digunakan sebagai dasar kredit perumahan atau hipotek. Stabilitas angka ini sangat memengaruhi biaya pinjaman masyarakat luas.
Keputusan untuk menahan bunga juga terkait dengan dinamika global. Saat ini, The Federal Reserve masih menahan suku bunga acuan di level tinggi, sehingga menurunkan LPR justru bisa memperlebar selisih imbal hasil dan menekan nilai tukar yuan terhadap dolar AS. Pelemahan yuan berisiko menambah arus modal keluar dari China.
Dari sisi pasar, kebijakan ini memberikan sinyal bahwa Beijing masih fokus menjaga stabilitas keuangan ketimbang mendorong ekspansi kredit secara agresif. Investor menilai langkah ini menegaskan preferensi pemerintah untuk mengedepankan stabilitas jangka menengah. Reaksi pasar saham dan obligasi pun cenderung datar setelah pengumuman.
Bagi dunia usaha di China, keputusan tersebut berarti biaya pinjaman tetap sama seperti bulan lalu. Perusahaan yang berharap mendapat keringanan bunga untuk ekspansi harus menunda rencana mereka. Namun, stabilitas suku bunga tetap memberikan kepastian dalam perhitungan arus kas jangka pendek.
Di sisi lain, konsumen yang berharap ada penurunan bunga hipotek juga harus menunggu. Pasar properti yang sudah lesu masih menghadapi tantangan dengan tingkat bunga yang tidak berubah. Sektor ini sebelumnya diharapkan menjadi pendorong utama pemulihan ekonomi domestik.
Dampak keputusan China juga terasa secara global. Sebagai mitra dagang terbesar bagi banyak negara, perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu dapat menekan permintaan komoditas. Indonesia, misalnya, berpotensi merasakan penurunan permintaan ekspor batubara, minyak kelapa sawit, maupun nikel.
Meski begitu, sejumlah analis melihat keputusan ini bukan berarti Beijing pasif. Pemerintah China masih memiliki ruang untuk mendorong stimulus fiskal, termasuk lewat pengeluaran infrastruktur dan dukungan terhadap konsumsi domestik. Kombinasi kebijakan fiskal dan moneter diharapkan mampu menjaga momentum pertumbuhan hingga akhir tahun.
Dengan mempertahankan LPR di level 3,0 persen untuk tenor satu tahun dan 3,5 persen untuk tenor lima tahun, China memberikan sinyal tegas bahwa stabilitas mata uang dan arus modal keluar masuk tetap menjadi prioritas utama. Pasar global kini menanti langkah lanjutan dari Beijing dalam beberapa bulan mendatang.














