JAKARTA, Cobisnis.com – China selama dua dekade terakhir dikenal sebagai mesin pertumbuhan global. Negara dengan populasi terbesar kedua di dunia itu menyumbang sekitar 30% pertumbuhan ekonomi global, terutama melalui ekspor, manufaktur, dan konsumsi domestik. Namun kini, tekanan besar mulai menguji daya tahannya.
Pertumbuhan ekonomi China dalam beberapa tahun terakhir melambat signifikan. Jika di awal 2000-an ekonomi Negeri Tirai Bambu bisa tumbuh di kisaran 10% per tahun, kini hanya berkisar 4–5%. Perlambatan ini menimbulkan kekhawatiran akan kemampuan China mempertahankan peran dominan di perekonomian dunia.
Salah satu sumber pelemahan utama adalah krisis properti. Sektor ini, yang menyumbang sekitar 25–30% PDB China, tertekan akibat kasus gagal bayar raksasa properti seperti Evergrande dan Country Garden. Kondisi tersebut memicu risiko terhadap stabilitas keuangan domestik.
Selain itu, beban utang pemerintah daerah dan perusahaan milik negara semakin menumpuk. Tingginya tingkat pinjaman yang tidak diimbangi pertumbuhan produktif menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan ekonomi jangka panjang.
Dari sisi demografi, China juga menghadapi tantangan besar. Populasi menurun sejak 2022, ditambah dengan penuaan penduduk yang cepat dan rendahnya angka kelahiran. Situasi ini berpotensi mengurangi pasokan tenaga kerja sekaligus menekan daya beli masyarakat.
Faktor eksternal juga memperberat keadaan. Ketegangan geopolitik dengan Amerika Serikat memicu pembatasan akses terhadap teknologi canggih, khususnya semikonduktor. Sementara itu, diversifikasi rantai pasok membuat banyak perusahaan global memindahkan produksi ke Vietnam, India, hingga Meksiko.
Meski demikian, peluang baru tetap terbuka. China kini memimpin dalam pengembangan energi terbarukan, kendaraan listrik, serta panel surya. Sektor teknologi hijau diproyeksikan menjadi motor pertumbuhan baru yang lebih berkelanjutan.
Dengan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa, pasar domestik China juga masih menyimpan potensi besar. Reformasi distribusi pendapatan diyakini dapat memperkuat kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, melalui program Belt and Road Initiative (BRI), China terus memperluas pengaruh ekonominya lewat investasi infrastruktur lintas negara. Langkah ini menjadi instrumen strategis untuk menjaga relevansi global di tengah tantangan struktural.
Dengan demikian, China masih bisa mempertahankan status sebagai mesin pertumbuhan global, tetapi pola lama berbasis ekspor murah dan properti tidak lagi cukup. Transformasi menuju ekonomi berbasis teknologi, konsumsi domestik, dan energi hijau menjadi kunci keberlangsungan perannya di panggung internasional.














