JAKARTA, Cobisnis.com – Covid-19 merupakan bencana dunia. Tetapi, bisa menjadi “berkah” bagi orang-orang tertentu. Antara lain, orang-orang yang berbisnis tes Covid-19.
Mereka bisa meraup untung sangat besar. Karena difasilitasi kebijakan negara. Seperti kebijakan harga tes covid-19 yang tinggi, serta kebijakan wajib tes Covid-19 bagi masyarakat yang ingin bepergian.
Di lain pihak, bisnis pandemi tes PCR ini berpotensi melanggar undang-undang (UU) dan Undang-Undang Dasar (UUD). Alasannya sebagai berikut:
Pertama, tes Covid-19 termasuk cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga, menurut Pasal 33 UUD, harus dikuasai oleh negara. Setuju?
Tetapi, realitanya tes PCR dikuasai oleh swasta. Ini potensi pelanggaran pertama.
Kedua, harga barang untuk hajat hidup orang banyak, meskipun dikuasai negara, harus diatur oleh negara.
Tujuannya untuk melindungi masyarakat dan konsumen. Penetapan harga monopoli tersebut harus menggunakan formula perhitungan secara transparan. Contohnya seperti perhitungan tarif listrik, harga BBM atau tarif transportasi pubik. Serta mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bila perlu.
Faktanya, harga tes Covid-19 tidak diatur sama sekali, setidak-tidaknya sampai pertengahan Agustus 2021. Sehingga membuat harga tes Covid-19 menjadi sangat mahal, memberi keuntungan abnormal kepada pengusaha kartel, serta terindikasi melanggar UU Anti-monopoli.
Masyarakat protes. Namun, pemerintah tetap bungkam hingga 15 Agustus 2021. Presiden Jokowi akhirnya bereaksi, minta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, menurunkan harga tes covid-19.
“Jokowi Minta Harga Tes PCR Turun Jadi Rp450.000 – Rp550.000”, begitu judul berita bisnis.com pada 15 Agustus 2021.
Pertanyaannya, mengapa harus presiden Jokowi yang minta harga tes PCR turun? Hal ini membahayakan posisi Presiden. Karena bisa dimintakan tanggung jawab kalau harga monopoli tes PCR tersebut tenyata terlalu mahal. Presiden bisa dituduh menguntungkan para kartel pengusaha. Kalau ada kerugian negara, dampaknya bisa lebih dahsyat lagi.
Sepertinya harga tes PCR sekitar Rp500.000 memang kemahalan. Karena, selang dua bulan kemudian, yaitu akhir Oktober 2021, Presiden Jokowi minta harga tes PCR diturunkan lagi menjadi Rp275.000 hingga Rp300.000.
Pertanyaannya, apakah harga tes PCR Rp300.000 ini sudah normal? Atau masih kemahalan mengingat harga tes PCR di India bisa di bawah Rp100.000? Lagi-lagi, presiden dalam posisi tidak menguntungkan. Bisa dituduh memberi fasilitas yang menguntungkan kartel.
Kebijakan terkait pandemi kini semakin menarik. Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal kekebalan hukum bagi pejabat negara seperti dimuat di Pasal 27 UU No 2/2020 (PERPPU 1/2020) tentang penanganan Covid-19. Para pejabat kini dapat dituntut.
Mahkamah Konstitusi mengubah bunyi pasal 27 ayat (1) menjadi:
“Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Artinya, kalau merugikan negara dan dilakukan dengan iktikad tidak baik, maka pejabat tersebut bisa dituntut dan dihukum.
Sedangkan harga tes PCR yang tinggi pasti merugikan masyarakat luas. Apakah juga merugikan negara? Sangat mungkin. Hal ini harus diselidiki lebih serius. Berapa biaya tes Covid-19 yang sudah dikeluarkan negara, berapa biaya seharusnya, apakah dengan demikian ada kerugian negara?
Selanjutnya, apakah membiarkan harga tes PCR bertahan sangat tinggi termasuk iktikad tidak baik? Apakah menentukan harga tes PCR menjadi Rp500.000, atau bahkan Rp300.000, termasuk iktikad tidak baik?
Apakah membiarkan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai swasta termasuk iktikad tidak baik?
Menurut ourworldindata.org, jumlah tes covid-19 Indonesia hingga pertengahan Agustus 2021 sekitar 14 juta tes. Kalau setiap tes harganya Rp100.000 terlalu mahal, maka masyarakat dan negara dirugikan Rp1,4 triliun. Kalau kemahalan Rp500.000 per tes, maka keuntungan abnormal yang diraup para kartel pengusaha sebesar Rp7 triliun.
Jadi, berapa sebenarnya keuntungan para kartel tersebut? Berapa kerugian negara?
Kepada DPR, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, rakyat mengucapkan selamat bekerja. Semoga amanah.
Penulis: Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)