Cobisnis.com – Bank Indonesia menyatakan otoritas moneter itu tetap melihat adanya ruang penurunan suku bunga dengan rendahnya tekanan inflasi dan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Bentuk pelonggaran kebijakan yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah berupa quantitative easing, relaksasi kebijakan makroprudensial, dan akselerasi digital sistem pembayaran,” kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo di Jakarta, Jumat 17 April 2020.
Hal itu ditegaskan Perry saat menyampaikan perkembangan terkini dan kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dalam mencermati kondisi perekonomian Indonesia khususnya sebagai dampak penyebaran Covid-19.
Pada Rapat Dewan Gubernur BI bulan April 2020, Bank Indonesia tetap mempertahankan suku bunga bunga acuan (BI-7DRRR) dengan pertimbangan BI-7DRRR telah diturunkan sebanyak 2 kali serta prioritas untuk tetap menjaga stabilitas nilai tukar.
Efektif mulai 1 Mei 2020, Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah untuk Bank Umum Konvensional (BUK) turun 200 bps atau 2%. “Hal tersebut akan menambah likuiditas sebesar Rp102 triliun,” ujarnya.
Selain itu, Bank Indonesia juga tidak memberlakukan kewajiban tambahan Giro untuk pemenuhan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) baik terhadap BUK dan Bank Umum Syariah atau Unit Usaha Syariah (BUS/UUS) untuk periode 1 (satu) tahun, hal tersebut menambah likuiditas Rp15,8 triliun. “Secara total, quantitative easing Bank Indonesia hampir sebesar Rp420 triliun,” ungkap dia.
Pada saat yang sama, Bank Indonesia memperkuat manajemen likuiditas perbankan dengan menaikkan Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 200 bps untuk BUK yang wajib dipenuhi melalui pembelian SUN/SBSN yang akan diterbitkan oleh Pemerintah di pasar perdana.
Hal tersebut, menurut Perry, akan menambah likuiditas bank, sekaligus mendukung kebutuhan pembiayaan fiskal dan sejalan dengan langkah quantitative easing Bank Indonesia. “Apabila bank membutuhkan likuiditas, dapat menjual SBN dengan repo ke Bank Indonesia,” pungkas dia.