Cobisnis.com – Saat ini makin banyak orang yang tinggal di dalam rumah untuk bantu memutus rantai persebaran virus Corona atau Covid-19. Para pekerja didorong untuk bekerja dari rumah, meskipun beberapa di antaranya masih diharuskan bekerja di luar rumah mereka.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dari keseluruhan pekerja berusia dewasa yang berdomisili di Jakarta, dua juta di antaranya masih berstatus sebagai lajang.
Meskipun beberapa di antaranya mungkin saja masih tinggal bersama keluarga, para pekerja yang kebanyakan berasal dari luar kota ini harus menghadapi kenyataan untuk tinggal sendirian di kost atau apartemen mereka, akibat anjuran untuk tidak melakukan mudik ke kampung halaman ataupun keharusan untuk tetap diam di Jakarta karena faktor pekerjaan.
Meski hidup sendirian mungkin saja tidak menantang secara fisik dan mental pada waktu normal, hal itu bisa berubah 180 derajat di masa pandemi.
Sehubungan dengan itu, kami pun telah berbicara dengan beberapa pekerja lajang di Jakarta tentang masalah yang mereka hadapi ini, dan bagaimana mereka mengatasinya.
Karena kebanyakan pekerja lajang di Jakarta tinggal di kost sendirian, mereka pun mulai mengalami konsekuensi dari isolasi sosial yang sedang gencar diberlakukan saat ini. Ann, yang tinggal di sebuah kost di Senayan, menceritakan bagaimana dia merasa kebosanan di kamar kostnya.
“Aku bosan melihat dinding yang sama. Hanya saya sendiri di dalam ruangan dengan layar dan lemari pakaian saya, tidak ada banyak hal untuk dilihat atau dilakukan,” kata Ann.
Pengalaman seperi itu tidak hanya dialami oleh Ann, banyak cerita curahan kebosanan para penghuni kost lainnya yang bertebaran di platform media sosial.
Pengguna @afathaaar, misalnya, yang mengekspresikan betapa bosannya dia tinggal di kost selama berminggu-minggu akibat keputusan kantornya memberlakukan kerja dari rumah sampai minggu kedua bulan April.
Ann dan Fath hanyalah contoh awal tentang bagaimana isolasi sosial dalam kost mulai ‘memakan korban’ dalam wujud para pekerja lajang yang hidup sendirian.
Dalam masa awal karantina, masalah pokok semasa hidup sendiri adalah ketersediaan dari satu kebutuhan: makanan. Memesan secara take-out mungkin bukan ide yang baik secara finansial, jadi, apa yang dapat Anda lakukan sebagai millennial lajang yang hidup sendirian?
Untuk beberapa orang yang tinggal sendirian di apartemen, memasak sendiri merupakan opsi yang pertama; terjangkau dan aman karena dilakukan di ruang Anda sendiri.
Namun bagi mereka yang tinggal di kost, memasak di dapur umum, apalagi dengan makanan yang disimpan di dalam kulkas bersama dengan makanan penghuni-penghuni lainnya bisa jadi mengkhawatirkan.
Sementara itu, mendapatkan makanan dari toko di jalan atau warteg pun terasa semakin tidak aman di masa-masa seperti ini. Di luar itu, terdapat pula pilihan untuk mempelajari cara membuat makanan mudah saji yang disiapkan dengan penanak nasi di ruang kost, tapi pilihan tersebut pastilah bukan yang paling ideal.
Salah satu penetap kos lainnya, Rizal, turut mengungkapkan bahwa ia merasa semakin tidak aman untuk keluar mencari makanan sehari-hari di warteg terdekat dan memaparkan dirinya ke lingkungan yang penuh orang.
“Saya tidak terlalu khawatir tentang orang-orang di kost saya, tetapi saya khawatir dengan orang-orang yang tinggal di lingkungan itu, mereka tampaknya tidak tahu tentang virus,” katanya.
Layanan pengiriman makanan pun tidak bisa dibilang murah, dan memasak di dapur umum kostnya juga tidak nyaman ataupun higienis, sehingga memaksa Rizal untuk terus membeli makanan di luar.
Kekhawatiran akan kurangnya perhatian serta tindakan untuk menjaga kesehatan sesama penghuni kost juga turut dikemukakan oleh Jule. Ia yang tinggal di sebuah kost di Kuningan, menyatakan keprihatinannya akibat permukaan berbagai perabotan di kosnya yang tidak dibersihkan.
“Seharusnya ada pembantu yang membersihkan kost setiap saat, tapi dia belum membersihkan apa pun dalam dua minggu. Saya tidak tahu siapa yang datang dan pergi di kost ini, tidak ada jaminan bahwa teman kost saya bersih, ”jelasnya.
“Saya berharap saya bisa kembali ke kampung halaman atau pindah ke tempat yang lebih layak huni,” ungkap perempuan berusia 25 tahun yang berasal dari Pekanbaru itu.
Ketika ditanya tentang kekhawatiran terkena paparan virus menular, Eko berkata, “Saya memasak. Kadang saya berbagi makanan dengan teman flat saya.”
Dia menyebutkan, operator co-living-nya, Flokq, membersihkan apartemennya setiap minggu, dan setelah pandemi, meningkatkan langkah-langkah keselamatan dan kesehatan mereka.
Malti juga menjelaskan pengalaman #stayathome-nya dengan nada yang sama. Sebagai pembuat roti paruh waktu, ia terbiasa memasak di apartemennya bersama. “Cukup banyak untuk saya,” katanya.
Menyediakan makanan merupakan salah satu isu paling krusial, tetapi akan muncul lebih banyak rasa frustrasi bisa muncul ketika Anda tinggal sendirian. Pada tahap selanjutnya, Anda akan melawan kebosanan melihat dinding yang sama di kamar Anda secara terus-menerus.
Sebagian kecil millennial yang tinggal sendirian di apartemen non-studio nan luas mungkin saja dapat berjalan-jalan di antara kamar-kamar di dalamnya, tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi mayoritas orang yang tinggal di apartemen studio atau pun kost.
Pergi keluar, bahkan ke ruang tamu komunal yang tersedia di beberapa kost, berpotensi menaikkan kemungkinan kontak sosial dengan orang-orang yang tidak pasti tingkat higienitasnya, sehingga sangat tak dianjurkan.
Menikmati minum sembari menikmati konten tertentu di layar ponsel ataupun komputer Anda, tentunya merupakan salah satu wujud tanggung jawab sosial di masa-masa seperti ini.
Tetapi, cara apa pun yang memungkinkan Anda memiliki banyak ruang gerak sambil tetap memiliki kendali atas kontak sosial Anda tentunya akan terasa lebih baik lagi.
Semakin banyak hari yang dihabiskan di dalam ruangan, tentunya Anda akan semakin merasa tidak sehat juga. Akan muncul keinginan untuk kembali merasakan sinar matahari dan udara segar.
Beberapa orang yang tinggal di apartemen mungkin saja dapat menikmati sinar matahari yang menembus jendela ruangan lantai teratas mereka, atau bahkan pergi ke balkon untuk mencari udara segar.
Namun, keuntungan seperti itu kemungkinan besar tidak dapat dirasakan oleh mereka yang tinggal di kost, khususnya di Jakarta yang berpenduduk padat.
Beberapa kost memang memiliki jendela yang menghadap ke lingkungan atau taman kost, tetapi beberapa hanya memiliki jendela yang menghadap ke lorong sempit, atau lebih buruk lagi, bahkan tidak memiliki jendela sama sekali. Bagi mereka yang tinggal di kost, memenuhi keinginan akan udara segar pastinya akan menjadi suatu tantangan.
Pergi ke balkon seringkali bukan pilihan. Keluar dari kamar kost bisa jadi jalan pintas, tetapi kost yang padat penduduknya amat mungkin tidak memberikan aliran udara yang cukup dan dapat berisiko membuat seseorang berkontakan dengan penghuni kost lainnya yang belum tentu menjaga higienitas mereka.
Sementara itu, keluar dari rumah kost untuk berjalan-jalan ke lingkungan yang penuh sesak terdengar seperti sebuah ide yang buruk. Dalam masa sulit, mengorbankan sinar matahari dan udara segar terdengar bagus. Tapi rasanya juga tidak adil saat mengetahui bahwa sinar matahari dan udara segar perlu dibayar dengan harga tertentu.
Yang terakhir, interaksi sosial fisik pada saat seperti ini juga jadi sesuatu yang begitu dirindukan, meskipun interaksi sosial secara digital sudah menjadi suatu keniscayaan. Melihat teman dan rekan kerja via Skype, Hangouts atau Zoom merupakan norma selama pandemi, dan banyak yang telah belajar menerimanya norma baru.
Namun, tetapi tidak ada yang lebih baik dari melihat seseorang secara langsung. Bagi sebagian orang yang tinggal di kost, berteman dengan sesama penghuni kost bisa menjadi pilihan menarik.
Namun, hal tersebut dapat sedikit terganggu akibat tatatan kamar kost yang diatur layaknya kamar hotel; tidak mendorong interaksi sosial. Bagi sebagian orang yang tinggal di apartemen, bertemu orang adalah hal yang mustahil, dan kesepian pun menjadi masalah yang cukup besar.
Pilihan umum hunian berupa apartemen maupun kost bagi mereka yang tinggal sendirian di Jakarta terbukti berpotensi memunculkan masalah, khususnya pada saat di mana pembatasan kontak sosial sedang gencar-gencarnya diberlakukan.
Tinggal di apartemen tentunya menawarkan lebih banyak keunggulan dari berbagai aspek, namun tidak terjangkau bagi semua orang akibat adanya pembayaran di muka serta biaya sewa lebih tinggi.
Apalagi, tinggal di apartemen juga tidak menawarkan solusi bagi isu kesepian. Sedangkan, di sisi lain, kost sudah menjadi pilihan standar bagi masyarakat luas dalam waktu yang begitu lama.
Di berbagai belahan dunia, bertempat tinggal di bangunan tinggi dan menerapkan flatsharing sudah menjadi sesuatu yang biasa; namun masih belum begitu biasa di Jakarta. Kost sudah dan masih menjadi pilihan pertama dalam waktu yang begitu lama berkat keterjangkauan serta pelayanannya yang beragam.
Aspek-aspek tersebut berlawanan dengan apartemen, yang pembayaran di muka serta biaya sewa lebih tinggi-nya membuatnya hanya menjadi pilihan bagi orang-orang bermodal cukup.
Namun, pada saat di mana isolasi sosial sedang digalakkan, dan berkumpul dengan keluarga jadi sesuatu yang tak memungkinkan, tinggal di ruangan besar berfasilitas lengkap, dengan beberapa teman atau rekan sesama penghuni flat yang sudah pasti higienitasnya, sudah pasti akan semakin jelas keuntungannya.
Pengaturan hidup menjadi solusi isu akomodasi yang terjadi di Jakarta saat ini. Tinggal di apartemen juga lebih memungkinkan keberlangsungan kegiatan memasak, khususnya dengan dapur yang hanya digunakan bersama 2-3 orang penghuni flat lainnya.
Masalah higienitas pun dapat lebih terkendali, dan pengaturan akomodasi bahan makanan untuk membatasi pemesanan sajian dari luar juga amat mungkin untuk dilakukan.
Pada awal 2020, Eko, Rulih dan Davin tinggal di kos yang terpisah, namun baru-baru ini memutuskan pindah ke apartemen co-living yang disediakan Flokq di Setiabudi. “Sedikit khawatir karena sesekali Rulih masih bekerja di luar, tapi dia langsung mandi begitu pulang.
Pada akhirnya, rasanya nyaman saat Anda memiliki seseorang yang dapat diajak bicara secara langsung. Saya tidak tahu kapan bisa kembali nongkrong dengan teman-teman seperti biasanya,” jelas Eko.
CEO Flokq Anand Janardhanan dalam rilisnya mengatakan, pergi dari kost Anda saat ini untuk pindah ke apartemen bersama beberapa teman tentunya bukanlah hal yang simpel. Namun, hal tersebut tidak lagi menjadi masalah dengan bermunculannya beberapa operator co-living baru belakangan ini; salah satunya Flokq.
“Berdasarkan pembicaraan dengan beberapa anggota Flokq, mereka merasa bersyukur memutuskan pindah ke hunian bersama hanya beberapa saat sebelum pandemi Corona dimulai. Salah satu dari mereka adalah Malti, yang beberapa bulan lalu pindah ke hunian co-living yang disediakan Flokq, dan saat ini sedang dalam masa karantina dengan dua teman flatnya.” tutur Anand.
Ia menambahkan, Malti dan teman-teman flatnya tersebut telah sepenuhnya bekerja dari rumah selama tiga minggu terakhir, sehingga mereka merasa aman akibat jaminan tidak adanya salah seorang dari mereka yang mengangkut virus dari luar. Saat ini, setiap malam mereka rutin bermain kartu dan melakukan yoga bersama.
“Apa yang Malti, Eko, Rulih, dan Davin sedang lakukan tentunya sejalan dengan apa yang disarankan oleh para ilmuwan. Meski tengah dihadapkan dengan konsekuensi tak terhindarkan berupa rasa kesepian, co-living bersama beberapa penghuni lain bisa menjadi pilihan yang ideal. Di masa krisis seperti ini, ditemani oleh orang lain di sekitar rumah, bahkan dalam jarak yang aman, dapat menghadirkan rasa persatuan serta dorongan yang lebih.” pungkas Anand.