JAKARTA, Cobisnis.com – Kementerian PPN/Bappenas bersama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Keuangan membahas prioritas pendidikan Indonesia dalam Pertemuan Tiga Pihak Pembahasan Rencana Kerja dan Prioritas Kemendikbudristek Tahun 2022 yang diselenggarakan di Ruang Rapat Djunaedi Hadisumarto, Gedung Bappenas, Kamis (27/5/2021).
Sejumlah isu penting dibahas dalam pertemuan tersebut, di antaranya optimalisasi pemanfaatan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, baik yang dialokasikan melalui belanja kementerian/lembaga, anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, hingga pembiayaan pendidikan dalam bentuk dana abadi pendidikan.
“Bappenas ingin memastikan pemenuhan mandatory spending anggaran pendidikan sebesar 20 persen, serta memastikan pemanfaatan anggaran pendidikan secara tepat untuk menyelesaikan masalah-masalah mendasar pembangunan di bidang pendidikan, yaitu peningkatan pemerataan dan kualitas layanan pendidikan. Ada kementerian yang meningkat senilai Rp 1,7 Triliun kalau dijumlahkan semua, sementara Kemendikbud turun Rp 8,5 Triliun, Kemenristek juga turun.
“Jadi ini saya kira perlu kita dudukkan terkait dengan ini, coba telusuri supaya kita bisa dapat mendudukkan kembali postur 20 persen tersebut,” ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam rapat yang dihadiri secara luring oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim serta Kepala Biro Perencanaan Kemendikbudristek M. Samsuri, juga Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata dan Direktur Dana Transfer Khusus Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Putut Hari Satyaka.
Survei Sosial Ekonomi Nasional 2020 yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik menunjukkan pembangunan pendidikan di Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang relatif baik, ditandai oleh peningkatan angka partisipasi kasar (APK) pada semua jenjang, yakni SD/MI/sederajat 106,32 persen, SMP/MTs/sederajat 92,06 persen, SMA/SMK/MA/sederajat 84,53 persen, dan PT 30,85 persen.
Namun, layanan pendidikan belum sepenuhnya merata di seluruh wilayah Indonesia, ditandai adanya kesenjangan partisipasi pendidikan baik antarwilayah maupun antarstatus sosial-ekonomi keluarga. Kesenjangan antarwilayah paling tajam terjadi di Papua dan di daerah-daerah padat penduduk seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Sebagai contoh, APK SMA/sederajat di Jawa Barat sebesar 78,26 persen (di bawah rata-rata nasional sebesar 84,53 persen), di Kabupaten Ciamis sudah mencapai 116,79 persen, sementara di Kabupaten Sumedang masih sangat jauh tertinggal, yakni 54,58 persen.
Dalam konteks status sosial-ekonomi keluarga, APK pada jenjang menengah anak-anak usia sekolah (16-18 tahun) dari keluarga tidak mampu atau 20 persen termiskin meningkat sangat tajam, dari 34,82 persen pada 2010, menjadi 71,35 persen pada 2020.
Sedangkan, APK pada jenjang yang sama anak-anak usia sekolah dari keluarga mampu atau 20 persen terkaya meningkat dari 82,81 persen menjadi 92,96 persen pada periode yang sama.
Selama satu dekade, terjadi penurunan kesenjangan partisipasi di antara keluarga termiskin dan keluarga terkaya, dari semula 47,99 poin menjadi 21,61 poin. Ini merupakan pencapaian signifikan dalam pembangunan pendidikan yang menunjukkan bahwa layanan pendidikan makin inklusif.
Dengan demikian, untuk semakin meningkatkan inklusivitas dan kualitas pendidikan Indonesia, sinkronisasi perencanaan dan penganggaran menjadi syarat mutlak.
“Bahwa seyogianya semua anggaran-anggaran yang dikategorikan untuk pendidikan 20 persen itu, ada semacam clearing house-nya di Kementerian Pendidikan sehingga apakah itu dapat dikatakan terkategori atau terklasifikasi sebagai anggaran pendidikan. Mas Menteri sedang menyiapkan Peraturan Presiden terkait dana pendidikan ini, saya kira itu bagus, menjadi basis untuk pengalokasian biar kita tidak misleading. Dengan demikian, istilah 20 persen benar-benar program yang diinginkan, sebagaimana yang didemonstrasikan Mas Menteri di Sidang Kabinet, bisa berjalan,” tegas Menteri Suharso.
Struktur penduduk Indonesia masih didominasi kelompok masyarakat berpendidikan rendah. Dari total penduduk sebanyak 270 juta, terdapat sebanyak 199,4 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menyelesaikan pendidikan pada setiap jenjang, yaitu sebesar 61,41 persen baru menamatkan SMP atau lebih rendah dan bahkan tidak tamat SD, sebesar 29,1 persen menamatkan jenjang pendidikan menengah (SMA/SMK/MA/sederajat), dan hanya 9,49 persen saja yang menamatkan jenjang pendidikan tinggi.
Melalui berbagai kebijakan dan program, antara lain, Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan KIP-Kuliah, pemerintah terus berupaya meningkatkan pemerataan layanan pendidikan yang berkualitas, hingga menjangkau penduduk yang tinggal daerah 3T (terdepan, tertinggal, termiskin) dengan menyediakan sarana-prasarana dan fasilitas pendidikan secara memadai.
Sementara itu, kualitas pendidikan belum membaik, tercermin pada Program for International Student Assessment atau PISA yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa-siswa Indonesia masih jauh di bawah standar, yaitu matematika (379), membaca (371), dan sains (396).
Maka, upaya peningkatan kualitas pendidikan perlu terus dilakukan mulai dari peningkatan kompetensi guru, pengembangan kurikulum, inovasi pembelajaran, pemanfaatan teknologi dalam proses belajar-mengajar, dan penyediaan sumber-sumber pembelajaran yang bervariasi.
Selain itu, perlu pengembangan metode assesment sebagai pengganti dari Ujian Nasional yang telah ditiadakan sejak 2020 sehingga peta kualitas pendidikan dapat tergambar secara komprehensif.
Pada jenjang pendidikan tinggi, daya saing perguruan tinggi Indonesia di tingkat global perlu terus ditingkatkan dengan memperkuat kapasitas inovasi, pengembangan riset, dan publikasi ilmiah.
Kebijakan terobosan seperti Merdeka Belajar – Kampus Merdeka perlu diperkuat, menyasar berbagai aspek pembangunan pendidikan mulai dari penerimaan siswa baru, proses dan assesment pembelajaran, penjaminan mutu, pengelolaan bantuan pendanaan, peningkatan kompetensi pendidik, pelibatan masyarakat dalam peningkatan kualitas pendidikan, hingga kebijakan terkait pendidikan vokasi dan keterampilan.
Kementerian PPN/Bappenas menegaskan kebijakan tersebut harus diterjemahkan melalui aktivitas-aktivitas nyata dan terukur yang mengarah pada perbaikan kualitas pendidikan untuk meningkatkan capaian nilai PISA secara signifikan sekaligus meningkatkan daya saing perguruan tinggi Indonesia di tingkat global dalam inovasi dan kreasi ilmu pengetahuan dan teknologi.