Cobisnis.com – Aktivis sekaligus Direktur Komprehensi, Ahmad Nabil Bintang, mengatakan anak-anak muda dan generasi Milenial harus aktif bersuara (speak up) melakukan kontra narasi melawan maraknya konten-konten yang mendukung paham intoleransi. Menurut dia, jika paham intoleransi dibiarkan, berpotensi menjadi radikalisme karena sifatnya berkembang terus menerus.
“Kami ingin narasi-narasi terbaik berkualitas disebarkan masif untuk melawan penyebaran paham intoleransi yang berujung radikalisme ini,” kata Ahmad Nabil Bintang dalam diskusi Dialog Rakyat: Toleransi Multi Agama Sebagai Payung Anti Radikalisme di Selasar.in Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Senin (28 Desember 2020).
Upaya kontra narasi ini harus dilaksanakan berkesinambungan. Menurut Ahmad, literasi dan edukasi adalah pekerjaan terus menerus. Jika sempat terhenti, bisa menimbulkan masalah baru.
“Kami ingin mengatakan bahwa kesejahteraan dan keadilan sekarang menjadi fokus kita berbangsa dan bernegara. Soal intoleransi dan radikalisme ini sangat mengganggu,” ujarnya.
Direktur Deradikalisasi BNPT Prof. Dr. Irfan Idris, M.A sepakat dengan ide speak up kaum muda. Di zaman teknologi informasi, menurut dia, sifat diam atau senyap sangat berbahaya karena anak-anak muda melek informasi sehingga harus terlibat dalam memberitahukan perubahan.
“Jadi anak-anak muda jangan diam. Harus speak up melalui saluran seperti media sosial dan terus memunculkan ide-ide kreatif dan inovatif,” ujar Prof Irfan.
Direktur Jaringan Moderasi Indonesia, Islah Bahrawi, mengatakan ide speak up bisa diwujudkan dengan aktif melakukan gerakan intelektual melawan pemikiran radikal.
“Jadi saya katakan begini ya, intoleransi adalah bibit radikalisme yang nantinya akan berubah ke ekstrimisme dan terakhir masuk ke terorisme,” tutur Islah.
Saat ini, kata dia, bibit radikalisme dengan mudah terlihat jika seseorang berpikir mendevaluasi dan mendegradasi negara.
“Orang-orang seperti ini biasanya enggak nyaman dengan perbedaan. Dia bersikap menghakimi dan mendevaluasi negara sehingga pemikiran ini bisa terus berkembang, misalnya dipupuk sama hoax dan disinformasi,” jelasnya.
Moderasi Beragama, Moderasi Berpolitik
Direktur Nurcholish Madjid Society, Fachrurozi Majid, mengajak para mahasiswa atau calon-calon akademisi untuk meluruskan narasi-narasi yang salah selama ini. Terutama gelombang informasi di media sosial yang berbahaya karena bisa menyebar pesan-pesan radikal dan berbau teror.
“Narasi agama selalu perdamaian, tetapi ada yang memotong-motong narasi itu menjadi masalah baru,” ujarnya.
Fachrurozi mengatakan media sosial harus menjadi lahan mempertontonkan bagaimana Islam dan agama lainnya bisa menghargai satu sama lain.
“Gelorakan moderasi beragama dan moderasi berpolitik di media sosial. Kita bisa mulai dengan konten-konten edukasi dan mendidik di media sosial sebagai kontra narasi karena pikiran intoleransi ini jangan dianggap perkara sederhana,” ujarnya.
Mantan napi terorisme (napiter) Iqbal Husaini melihat salah satu kunci melawan radikalisme adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Memberikan pemahaman kepada anak-anak muda agar terhindar dari konten dan paparan radikalisme bukan perkara mudah di era keterbukaan informasi.
“Sederhananya begini, ketika ada seseorang menganggap negaranya bersalah dan salah, itu bisa jadi bibit radikalisme. Di Papua itu ada masalah separatisme dan itu enggak bisa disebut radikalisme. Papua itu Puncak Jaya saja konflik, lainnya seperti Sorong, Merauke, semua aman. Sementara ada pihak-pihak yang menyebut di Papua itu radikalisme, ini kan pembelokan,” ujar Iqbal.
Sultan Rivandi dari Presma UIN Jakarta 2019-2020 sepakat dengan ide moderasi pemikiran, terutama di dua hal yakni moderasi berpolitik dan moderasi beragama.
“Saya sepakat dengan moderasi beragama, tapi kita perlu juga moderasi berpolitik. Bagaimana negara mendistribusikan sebuah keadilan, maka keterbukaan pikiran dalam hal ini sangat penting,” ujarnya.
“Kemarin kita sempat terpecah karena cebong dan kampret, tetapi akhirnya cebong dan kampret itu hilang setelah 02 (Prabowo-Sandiaga) masuk ke 01 (Jokowi-Ma’ruf Amin) menjalankan (pemerintahan) negara ini bersama-sama,” jelasnya.
Selain itu, Sultan juga menekankan betapa pentingnya menyeimbangkan doktrin agama (samawi) dan doktrin demokrasi (politik/duniawi).
“Kita pelajari dan pahami apa itu ekstrimisme, apa itu fundamentalisme, apa itu radikalisme, dan lain-lain. Mari kita tonjolkan nalar kritis sebagai mahasiswa dan bangsa yang beradab,” kata Sultan.