JAKARTA, Cobisnis.com – Junta militer Myanmar mulai menggelar pemilihan umum pada Minggu, meski perang saudara yang dipicu kudeta militer pada 2021 masih berkecamuk dan belum berhasil mereka menangkan. Pemilu ini diklaim sebagai langkah untuk mengembalikan demokrasi, hampir lima tahun setelah militer menggulingkan pemerintahan terpilih dan menyeret negara itu ke dalam konflik berdarah.
Pemungutan suara berlangsung dalam situasi yang sangat kontroversial. Aung San Suu Kyi, politisi paling populer di Myanmar dan peraih Nobel Perdamaian, masih mendekam di penjara dengan hukuman 27 tahun, sementara partai utamanya, National League for Democracy (NLD), telah dibubarkan. Pemilu kali ini didominasi partai-partai yang dianggap dekat dengan militer, di tengah penangkapan ratusan orang berdasarkan undang-undang baru yang mengkriminalisasi kritik dan gangguan terhadap pemilu.
Di banyak wilayah, pemungutan suara bahkan tidak dilaksanakan karena junta masih bertempur melawan kelompok etnis bersenjata dan pejuang pro-demokrasi. Meski sempat mengalami kekalahan signifikan tahun lalu, militer Myanmar kini berhasil merebut kembali sebagian wilayah dengan dukungan wajib militer besar-besaran dan persenjataan baru dari China. Kondisi ini dinilai analis memberi ruang bagi junta untuk menggelar pemilu dan membentuk parlemen baru, di mana seperempat kursinya tetap dialokasikan untuk militer.
Sejumlah warga menyuarakan kekecewaan. Seorang pemilih di Yangon mengatakan antusiasmenya jauh berkurang dibanding pemilu sebelumnya, ketika masih ada kebebasan memilih. Kini, bahkan suara protes pun sulit disalurkan karena sistem pemungutan suara elektronik hanya menerima surat suara yang mencantumkan pilihan partai yang disetujui junta.
Pengamat dari International Crisis Group menilai pemilu ini sebagai upaya militer untuk “memperbaiki” hasil pemilu 2020 yang dimenangkan telak oleh NLD. Mereka memperingatkan komunitas internasional agar tidak memberikan legitimasi terhadap proses yang dinilai sarat manipulasi dan bertujuan melanggengkan kekuasaan militer.
Kritik juga datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pelapor khusus PBB untuk Myanmar menyebut tidak mungkin ada pemilu yang bebas dan adil di tengah penangkapan, penyiksaan, dan kriminalisasi oposisi. Situasi kemanusiaan pun terus memburuk, dengan jutaan orang mengungsi, akses bantuan diblokir, dan kekerasan meluas ke warga sipil.
Meski demikian, junta menepis kecaman internasional dan menegaskan pemilu dilakukan “untuk rakyat Myanmar, bukan untuk komunitas internasional.” Pemungutan suara dijadwalkan berlangsung dalam tiga tahap hingga akhir Januari, meski hasil akhirnya belum jelas kapan diumumkan.
Bagi banyak warga, harapan tetap tipis. Seorang guru muda di kamp pengungsi internal di negara bagian Kayah menyebut pemilu ini tidak lebih dari sandiwara. “Pada akhirnya, ini akan menjadi pemilu yang tidak adil,” ujarnya.














