JAKARTA, Cobisnis.com – Madu dikenal sebagai salah satu bahan pangan alami yang hampir tidak bisa basi. Fakta ini bukan sekadar mitos, melainkan didukung oleh penjelasan ilmiah yang telah lama diketahui dalam dunia pangan dan biologi.
Salah satu faktor utama adalah kadar air madu yang sangat rendah, berkisar antara 15 hingga 20 persen. Kondisi ini membuat bakteri dan jamur sulit berkembang karena mikroorganisme membutuhkan air untuk hidup.
Selain itu, madu memiliki kandungan gula alami yang sangat tinggi. Konsentrasi gula tersebut menciptakan tekanan osmotik yang kuat, sehingga mikroba kehilangan cairan tubuh dan tidak mampu bertahan.
Dari sisi kimia, madu bersifat asam dengan pH sekitar 3,2 hingga 4,5. Lingkungan asam ini semakin mempersempit peluang mikroorganisme penyebab pembusukan untuk berkembang.
Madu juga mengandung enzim alami bernama glucose oxidase yang dihasilkan oleh lebah. Enzim ini menghasilkan hidrogen peroksida dalam jumlah kecil yang berfungsi sebagai antibakteri alami.
Kombinasi sifat tersebut membuat madu mampu mengawetkan dirinya sendiri tanpa bahan tambahan. Temuan madu di makam Mesir Kuno yang berusia ribuan tahun dan masih layak konsumsi menjadi bukti nyata daya tahannya.
Meski demikian, madu tetap bisa rusak jika tidak murni atau tercemar. Campuran air, sirup gula, atau penyimpanan terbuka dapat meningkatkan kadar air dan memicu fermentasi.
Fermentasi ditandai dengan perubahan aroma, rasa asam, serta munculnya gelembung gas. Kondisi ini menunjukkan kualitas madu menurun dan tidak lagi layak dikonsumsi.
Perubahan tekstur seperti kristalisasi sering disalahartikan sebagai tanda basi. Padahal, kristalisasi merupakan proses alami dan tidak memengaruhi keamanan madu.
Keunikan madu ini membuatnya tidak hanya bernilai gizi, tetapi juga bernilai ekonomi tinggi. Dalam konteks industri pangan dan kesehatan, madu menjadi contoh bahan alami yang stabil tanpa pengawet buatan.














