JAKARTA, Cobisnis.com – Mantan kapten Manchester United, Roy Keane, dikenal sebagai sosok yang tanpa rasa takut dan kerap mengintimidasi lawan. Selama 12 tahun membela klub di Old Trafford, gelandang asal Irlandia itu meraih 17 trofi dan meninggalkan jejak mendalam di dunia sepak bola. Namun, salah satu kontribusinya yang paling dikenang justru datang dari sebuah komentar pedas usai laga Liga Champions UEFA pada tahun 2000, ketika ia menyindir fenomena “prawn sandwich” sebagai simbol gentrifikasi sepak bola.
“Beberapa orang datang ke Old Trafford, dan saya rasa mereka bahkan tidak bisa mengeja kata football, apalagi memahaminya,” ujar Keane kala itu. “Mereka minum-minum, mungkin makan beberapa prawn sandwich, dan tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi di lapangan.”
Komentar tajam itu melahirkan istilah “prawn sandwich brigade,” sebutan merendahkan bagi penggemar kelas atas yang dianggap jauh dari akar kelas pekerja sepak bola. Udang, yang secara historis merupakan hidangan mewah, menjadi simbol status sosial. Kenaikan harga tiket di era Premier League kala itu dinilai menyingkirkan penggemar tradisional dan menggantikannya dengan penonton mapan yang lebih tertarik pada suasana sosial ketimbang mendukung tim.
Seperempat abad kemudian, sindiran tentang prawn sandwich masih sering digunakan dengan nada mengejek. Meski istilah itu tidak populer di Amerika Serikat, sentimen serupa terasa pada ajang olahraga besar seperti Super Bowl, di mana harga tiket semakin sulit dijangkau. Dua pekan sebelum Super Bowl LIX, CNN melaporkan bahwa harga rata-rata tiket mencapai sekitar US$9.800, belum termasuk biaya perjalanan, akomodasi, dan konsumsi, menjadikannya pengalaman eksklusif bagi kalangan sangat terbatas.
Presiden FIFA Gianni Infantino dan Presiden AS Donald Trump bahkan menggambarkan Piala Dunia 2026 sebagai “104 Super Bowl.” Harga tiket pun seolah mengikuti logika itu. Untuk menyaksikan laga pembuka negara tuan rumah pada musim panas mendatang, rata-rata tiket dibanderol US$1.825, tiga kali lipat dibanding laga pembuka Piala Dunia Qatar 2022 dan hampir tiga setengah kali lipat dari Rusia 2018.
Kemurkaan penggemar sepak bola pun merebak secara global. Nigel Seeley, penggemar Inggris selama 30 tahun, menyebut harga tersebut “gila.” Ia mengungkapkan bahwa tiket final Piala Dunia bisa mencapai US$4.185 hingga US$8.860. “Saya rasa saya akan menonton final di rumah saja jika Inggris sampai ke sana. Saya tidak bisa membenarkan mengeluarkan uang sebanyak itu,” ujarnya.
Menanggapi kritik, FIFA mengumumkan skema harga baru bagi sebagian pendukung setia dengan tiket mulai US$60. Namun, pernyataan tersebut dinilai membingungkan karena tidak menjelaskan berapa banyak tiket murah yang benar-benar tersedia. Meski demikian, FIFA mengklaim telah menjual 2 juta tiket dan menyebut permintaan global “luar biasa.”
Di sisi lain, isu akses dan kebijakan imigrasi AS juga menjadi sorotan. Sejumlah negara, termasuk Iran dan Haiti, masuk daftar pembatasan, sementara wacana pengetatan visa membuat banyak penggemar internasional khawatir. Dengan krisis biaya hidup yang melanda, banyak calon penonton dipaksa memilih antara menyaksikan 90 menit sepak bola atau memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
Menjelang Piala Dunia terbesar sepanjang sejarah, FIFA dituding melakukan keserakahan berskala besar. Tanpa konsesi harga lebih lanjut, mereka berisiko kehilangan esensi turnamen itu sendiri. Sebab, energi dan suara di stadion berasal dari penggemar sejati, bukan dari denting gelas sampanye dan prawn sandwich di kursi hospitality.














