JAKARTA, Cobisnis.com – Ketahanan energi nasional kembali jadi sorotan menjelang 2026, di tengah tekanan global dan percepatan transisi energi. Sektor hulu minyak dan gas bumi dinilai masih memegang peran vital untuk menjaga pasokan energi Indonesia tetap aman dan terjangkau.
Hal itu mengemuka dalam EITS Discussion Series VII 2025 bertajuk Pemantik Bisnis Sektor ESDM 2026, Dari Hilirisasi Hingga Transisi, yang digelar di Jakarta, Senin (15/12). Forum ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara migas dan energi terbarukan.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolin Wahjong menilai tren penurunan produksi migas harus segera dihentikan. Menurutnya, migas masih menjadi pilar utama ketahanan energi di tengah lonjakan kebutuhan nasional.
Ia menyebut permintaan gas nasional diproyeksikan naik hingga empat kali lipat dan minyak dua kali lipat hingga 2050. Namun dalam satu dekade terakhir, produksi migas justru terus melandai, yang berisiko memperlebar kesenjangan pasokan energi.
Marjolin menekankan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas kontrak untuk menarik investasi. Industri hulu migas dikenal berisiko tinggi, padat modal, dan berumur panjang, sehingga butuh regulasi yang konsisten dan pro-investasi.
Tenaga Ahli Kepala SKK Migas Muhammad Kemal menyampaikan, optimalisasi lifting migas menjadi strategi kunci untuk menekan impor dan menjaga penerimaan negara. Ia menilai dunia kini bergeser dari ambisi keberlanjutan menuju isu keamanan dan keterjangkauan energi.
Data SKK Migas hingga November 2025 menunjukkan produksi migas nasional relatif terjaga, dengan penurunan hanya sekitar 0,1 persen secara tahunan. Investasi eksplorasi bahkan naik sekitar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Untuk 2026, pemerintah menargetkan lifting minyak 610 ribu barel per hari dan gas 5.500 juta kaki kubik per hari. Target ini ditopang rencana investasi hulu migas lebih dari US$22 miliar.
Dari sisi transisi energi, Manager New and Renewable Energy Pertamina NRE Chandra Asmara menilai gas alam masih krusial sebagai jembatan menuju sistem energi rendah karbon. Pembangkit berbasis gas dinilai lebih bersih dan fleksibel dibandingkan batu bara.
Sementara itu, pemerintah menegaskan komitmen mempercepat energi baru dan terbarukan. Hingga Semester I 2025, bauran EBT nasional mencapai sekitar 16 persen, meski masih perlu digenjot untuk memenuhi target Kebijakan Energi Nasional.
Pemerintah juga membuka lebih dari 75 blok migas potensial dan mereaktivasi ribuan sumur idle guna menahan laju penurunan produksi. Upaya ini dipadukan dengan insentif fiskal dan penyederhanaan perizinan.
Dewan Energi Nasional menilai kebijakan energi ke depan harus seimbang antara ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan. Migas, gas, dan EBT diposisikan saling melengkapi agar transisi energi tetap realistis dan ekonomi tetap tumbuh.














